Pyongyang (Lampost.co)—Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un menandatangani pakta bantuan pertahanan bersama, Rabu (19/6/2024). Hal itu terjadi selama kunjungan Putin ke ibu kota Korea Utara, Pyongyang.
Menurut pernyataan Pemerintah Rusia, perjanjian kemitraan strategis komprehensif menetapkan “saling membantu jika terjadi agresi terhadap salah satu pihak.” Putin menyebut kesepakatan itu sebagai “dokumen terobosan,” yang mencerminkan keinginan meningkatkan hubungan ke “tingkat kualitatif baru”.
Putin lebih lanjut mengkritik “kebijakan konfrontatif” AS di kawasan. Menurutnya, “disertai dengan peningkatan substansial dalam cakupan dan intensitas berbagai latihan militer yang melibatkan Republik Korea dan Jepang. Keduanya memiliki sifat permusuhan terhadap DPRK (Republik Demokratik Rakyat Korea, umumnya dikenal sebagai Korea Utara).”
Perjanjian tersebut menggantikan perjanjian sebelumnya pada 1961, 2000, dan 2001. Khususnya, perjanjian tahun 1961 antara Uni Soviet dan Korea Utara menetapkan intervensi militer otomatis jika salah satu negara mendapat serangan.
Perjanjian tahun 1961 batal setelah runtuhnya Uni Soviet, dan perjanjian 2000 tidak menetapkan aliansi militer antara kedua negara. Namun perjanjian ini menandakan kebangkitan sikap Rusia yang lebih positif terhadap Korea Utara.
Meskipun cakupan penuh pakta baru ini masih rahasia, hubungan militer terbaru Rusia dan Korea Utara telah membuat khawatir negara-negara Barat. Hal itu terkait potensi implikasinya terhadap keamanan regional dan konflik yang sedang berlangsung.
Peringatan Sekjen NATO
Ketika ketegangan meningkat di Semenanjung Korea, Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg memperingatkan perang Rusia di Ukraina “dapat dukungan” negara-negara seperti Korea Utara. Dia memperingatkan, “Jika mereka berhasil di Ukraina, hal itu akan membuat kita lebih rentan dan dunia lebih berbahaya.”
Departemen Luar Negeri AS sebelumnya mengeluarkan pernyataan pada l Januari yang mengutuk ekspor Korea Utara dan pengadaan rudal balistik oleh Rusia sebagai “pelanggaran mencolok” terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB.
Pasal 51 Piagam PBB mengizinkan pertahanan diri kolektif jika terjadi serangan bersenjata terhadap negara anggota mana pun. Larangan penggunaan kekuatan sepihak dan pengecualian untuk membela diri merupakan prinsip dasar hukum kebiasaan internasional.
Namun, kompleksitas muncul ketika serangan telah berhenti atau ketika suatu negara berupaya mempertahankan diri terhadap potensi ancaman di masa depan. Dalam situasi seperti ini, penggunaan kekuatan berlaku untuk tujuan preventif, hukuman, pencegahan atau kombinasi tujuan, sehingga menghasilkan beragam pembenaran dan implikasi.
Selain itu, kerja sama militer apa pun yang meningkatkan kemampuan Korea Utara dapat terlihat sebagai pelanggaran terhadap sanksi internasional terhadap negara tersebut, khususnya terkait dengan rudal balistik dan program nuklirnya.
Dengan Rusia yang mempunyai hak veto di Dewan Keamanan PBB, terdapat kekhawatiran yang meningkat bahwa penguatan hubungan ini akan makin melemahkan kontrol terhadap program senjata Korea Utara. Pada Maret lalu, Rusia memveto pembaruan panel ahli PBB yang memantau sanksi Korea Utara, sehingga menimbulkan tuduhan berusaha menghindari pengawasan kesepakatan senjata antara Moskwa dan Pyongyang.