Paris (Lampost.co)—Tokoh oposisi Prancis, Marine Le Pen, mengaku hampir “menyikat habis” Presiden Emmanuel Macron di putaran pertama pemilu parlemen pada akhir pekan kemarin.
National Rally (RN), partai pimpinan Le Pen, memimpin putaran pertama lewat raihan 33% suara. Sementara itu, koalisi sayap kiri New Popular Front berada di posisi kedua dengan 28,5%, menurut beberapa jajak pendapat.
Melansir LBC, Senin (1/7/2024), angka tersebut hampir dua kali lipat dari 18% perolehan RN dalam pemilu Prancis tahun 2022. Dan kali ini menempatkan mereka pada posisi yang menguntungkan untuk menjadi partai terbesar di majelis rendah Prancis.
Sementara itu, Lembaga Survei IFOP, Ipsos, OpinionWay, dan Elabe mencatat blok sentris Presiden Macron berada di posisi ketiga dengan perolehan suara di kisaran 20,5-23%.
Berbicara kepada para pendukungnya di Henin-Beaumont, Prancis Utara, Le Pen mengatakan, “demokrasi telah berbicara”. Dia menyampaikan pernyataan itu setelah jajak pendapat menunjukkan partainya memperoleh suara terbanyak dalam pemilu putaran pertama hari Minggu.
Ia menambahkan, “Belum ada kemenangan, dan putaran kedua yang akan menentukan. Demi menghindari negara jatuh ke tangan koalisi Nupes, sayap kiri ekstrem dengan kecenderungan kekerasan.”
Le Pen mengatakan pemilu putaran kedua akan “menentukan dalam memberikan Jordan (Bardella) mayoritas absolut di Majelis Nasional”. Menurutnya, Bardella sebagai perdana menteri “dapat memulai proses pemulihan Prancis dan persatuan serta keharmonisan nasional pekan depan”.
Ia menambahkan, “Prancis hampir menyapu bersih blok Macronist.”
Anak didik dan pemimpin partai Le Pen, Tn. Bardella, telah menikmati lonjakan popularitas, khususnya di kalangan pemilih muda.
Ia mengatakan kepada para pendukungnya di Paris pada Minggu malam, tiga pekan setelah pemilihan umum Eropa, rakyat Prancis telah memberikan keputusan dan mereka telah menegaskan harapan mereka yang jelas untuk perubahan.
“Ini memberi kami harapan di seluruh negeri.”
Ia memperingatkan tentang “bahaya” koalisi sayap kiri di bawah pimpinan Jean-Luc Melenchon, dengan mengatakan koalisi itu dapat menempatkan Prancis dalam “bahaya eksistensial”.