Jakarta (Lampost.co): Indonesia AIDS Coalition (IAC) dan sejumlah mitra mengajukan banding ke Komisi Banding Paten Kementerian Hukum dan HAM untuk membatalkan paten kepada Gilead Sciences, sebuah perusahaan farmasi multinasional, untuk obat HIV Lenacapavir.
Direktur Eksekutif IAC, Aditya Wardhana mengatakan bahwa banding paten ini penting untuk memastikan akses ke pengobatan yang optimal bagi orang dengan HIV (ODHIV). Termasuk melalui produksi generik lokal, juga untuk keberlanjutan dari program HIV-AIDS nasional di Indonesia.
Baca juga: Dinas Kesehatan Lampura Catat 106 Kasus HIV, 1 Penderita Berusia 10 Tahun
“Akses pada pengobatan adalah kunci. Dan Lenacapavir, sebagaimana yang UNAIDS telah sampaikan, memiliki potensi untuk membantu mengakhiri epidemi AIDS.” kata Aditya, melalui keterangannya, Jumat, 4 Oktober 2024.
Dia menjelaskan perusahaan farmasi Amerika Serikat, Gilead Sciences memproduksi Lenacapavir adalah obat antiretroviral (ARV) long-acting. Long-acting, berarti jenis ARV ini tidak perlu penderita minum setiap hari. Yang mana pemberian Lenacapavir hanya dalam bentuk dua kali suntikan per tahun.
Dia menilai pengumuman dari Gilead mengenai lisensi sukarela yang diberikan kepada enam perusahaan. Yakni untuk memproduksi Lenacapavir versi generik masih belum cukup untuk memastikan akses yang memadai.
Lisensi tersebut, lanjutnya, mengecualikan produsen generik di Indonesia dan mencantumkan beberapa persyaratan anti-persaingan yang ketat. Hal itu yang memungkinkan Gilead untuk mempertahankan monopoli dan memastikan harga tetap mahal.
Menurutnya, salah satu kunci demi mencapai target global 95-95-95 dalam mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030 adalah obat-obatan generasi baru yang lebih efektif, efisien, dan minim efek samping.
Monopoli
Dalam keterangan yang sama, Peneliti Senior Indonesia for Global Justice (IGJ), Lutfiyah Hanim mengatakan perusahaan farmasi besar seringkali melakukan praktik patent evergreening. Yaitu mengajukan beberapa paten untuk komponen yang sama, untuk memperpanjang perlindungan paten melampaui jangka waktu standar 20 tahun.
“Paten Lenacapavir berakhir pada tahun 2034 di Indonesia. Tetapi jika paten sekunder mendapt persetujuan, monopoli pastinya akan panjang hingga 2037. Karena itu, upaya banding paten yang komunitas HIV lakukan ini menjadi penting untuk menghentikan monopoli,” katanya.
Saat ini, kata Hanim, Lenacapavir dengan harga jual 42.250 dolar AS per orang per tahun (PPY), atau sekitar Rp 640 juta. Harga yang amat mahal ini membuat Lenacapavir tidak terjangkau bagi jutaan ODHIV di dunia, termasuk Indonesia.
“Saat ini, program HIV-AIDS nasional, yang mencakup 503.261 ODHIV, mendapat subsidi penuh oleh Pemerintah Indonesia. Namun, pemerintah tidak dapat mengakomodasi pengadaan ARV dengan harga yang mencapai ratusan juta per orang,” dia menuturkan.
Ikuti terus berita dan artikel Lampost.co lainnya di Google News