Bandar Lampung (lampost.co)–Di balik meningkatnya angka kanker payudara di Indonesia, ada satu fakta miris: minimnya edukasi dan kesadaran dini di kalangan perempuan. Banyak yang masih menganggap gejala awal sebagai hal biasa, bahkan malu untuk memeriksakan diri ke dokter.
Menurut data Globocan 2021, lebih dari 65 ribu kasus kanker payudara tercatat di Indonesia setiap tahunnya. Namun ironisnya, mayoritas baru terdeteksi pada stadium lanjut.
Nur Laila, pendiri komunitas SADARI Lampung, menjelaskan bahwa banyak perempuan di daerah belum mendapat informasi yang benar soal tanda-tanda kanker. “Ada yang percaya kalau benjolan di payudara itu cuma angin duduk. Bahkan ada yang takut bicara karena dianggap aib keluarga,” tuturnya.
Di sisi lain, kebiasaan hidup tidak sehat masih jadi masalah umum. Kurang aktivitas fisik, konsumsi makanan instan, serta keengganan melakukan pemeriksaan rutin adalah hal yang masih sering terjadi.
“Kalau kita tidak mematahkan mitos, maka korban akan terus berjatuhan,” tegas Nur.
Tenaga medis pun masih terbatas di beberapa wilayah. Banyak perempuan yang akhirnya memilih diam, atau pasrah, karena sulitnya akses ke rumah sakit.
Kampanye SADARI
Kementerian Kesehatan terus mendorong program edukasi seperti kampanye SADARI dan deteksi dini di puskesmas. Namun partisipasi aktif masyarakat juga sangat penting.
Perubahan bisa dimulai dari hal kecil: membiasakan diri memeriksa payudara sendiri, tidak menganggap gejala sepele, dan membangun ruang aman untuk saling berbagi informasi.
Kanker payudara bukan kutukan, bukan aib, dan bukan pula takdir. Pencegahan kanker payudara bisa melalui edukasi yang benar dan keberanian untuk peduli.