BARU-BARU ini, SMA sederajat mengumumkan kelulusan siswanya. Sekolah sudah mewanti-wanti agar kelulusan disikapi secara baik tanpa konvoi kendaraan serta coret seragam. Nyatanya, banyak siswa yang tetap konvoi di jalanan hingga malam hari dengan sepeda motor tanpa helm. Baju yang dikenakan juga tidak lagi berwarna putih seperti aslinya. Sudah coreng-moreng dengan macam-macam warna.
Tampak di wajah mereka rasa bangga atas kelakuan tidak terpuji itu. Imbauan untuk merayakan kelulusan yang telah diserukan beberapa hari sebelumnya ternyata tidak didengar oleh gerombolan anak muda itu. Bahaya celaka di jalan raya akibat konvoi dan menyia-nyiakan seragam yang sebenarnya masih bisa disumbangkan bagi yang membutuhkan tidak ada dalam kamus mereka.
Para siswa itu mungkin mengira kelulusan setingkat SMA itu adalah akhir dari masa belajar mereka. Padahal, belajar dilakukan sepanjang hayat. Dan, salah satu pelajaran terpenting yang dipelajari dalam hidup adalah menerima kemenangan dan kekalahan secara bijak. Menerima kemenangan secara wajar mungkin bukan hal yang terlalu sulit dilakukan. Namun, menyikapi kekalahan secara arif, ini yang perlu tenaga dan pikiran ekstra.
Menyadari betapa penting hal itu, saya sudah mengajari buah hati yang kini sering mengikuti berbagai lomba untuk menerima kekalahan dengan baik. Mimik sedih dan kecewa terlukis jelas di paras saat dinyatakan belum menjadi juara pada lomba yang diikuti.
Sebagai ibu, saya hadir untuk memberi kekuatan dan penghiburan. Dekapan hangat dan usapan di kepala jadi jurus andalan saya menguatkan mereka. Saya katakan, masih terlalu banyak kesempatan untuk memenangkan lomba-lomba lainnya. Hanya perlu belajar dan terus belajar hingga menjadi jawara.
Belajar menerima kekalahan itu amat penting. Secara pribadi, saya juga kerap menerima kekalahan dalam berbagai kompetisi. Dari jatuh bangun itu, banyak hal baik yang bisa dipetik untuk evaluasi diri. Berangkat dari sana, saya mulai mengecap buah perjuangan yang amat manis melalui sejumlah kemenangan.
Kompetisi menyisakan konsekuensi manis atau pahit. Kebesaran hati adalah kunci sukses berjuang dalam kompetisi. Kebesaran hati hanya bisa diraih melalui proses belajar terus-menerus.
Kesediaan belajar legawa menjadi kebutuhan mendesak bangsa ini. Sejak tanggal 21 Mei, suasana menghangat, terutama di Ibu Kota. Ketidakmampuan menerima kekalahan diekspresikan secara keliru oleh pendukung salah satu capres. Aksi anarkistis hingga berujung pada kerugian di mana-mana, mulai dari materi hingga nyawa.
Mungkin saja saudara-saudara kita yang keliru mengekspresikan kekecewaannya itu saat SMA adalah lulusan yang juga coret-coret seragam. Mereka kira, itu adalah akhir proses belajar sehingga lupa meningkatkan kedewasaan dalam menerima pil pahit yang bernama kekalahan setelah bertahun-tahun menanggalkan seragam coret-coretnya.
Delima Natalia Napitupulu Wartawan Lampung Post