Bandar Lampung (Lampost.co): Perang sarung mulanya merupakan candaan bagi kelompok remaja terlebih di bulan Ramadan. Namun belakangan ini, perang sarung menjadi sebuah kegiatan menyimpang seperti tawuran.
Menurut Sosiolog, Citra Abriani Maharani, latar belakang fenomena tersebut adalah kesehatan mental remaja yang bermasalah. Sebagian besar remaja mengalami penyakit mental karena broken home, kurangnya pengawasan orang tua, dan kurangnya aktivitas sosial.
Selain itu, lanjut Citra, kurangnya aktivitas atau kegiatan positif yang dilakukan remaja saat ini berisiko tinggi untuk menarik atau ikut-ikutan pada kegiatan tawuran.
Tidak sedikit remaja yang tidak tahu apa-apa terlibat dalam kegiatan tawuran. Padahal hanya berawal dari sekedar nongkrong malah terlibat dalam tawuran.
“Pemahaman remaja mengenai konsep solidaritas juga kerap menjadi masalah. Tidak peduli benar atau salah, yang terpenting pasang badan untuk membela teman,” ujarnya, Selasa, 19 Maret 2024.
Ia mengatakan, persoalan itu intinya akibat para remaja mengalami krisis identitas secara umum. Kondisi itu mendorong remaja memliki kebutuhan untuk dihargai, diakui, dan dihormati.
Krisis Identitas
Ketika seseorang mengalami krisis identitas, kemudian bergabung bersama dengan kelompok yang memiliki permasalahan yang sama. Hal itu bisa menjadi hal negatif bisa menjadi hal yang positif.
“Tidak peduli itu melanggar nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Asalkan mereka diakui, dihargai, oleh kelompok tertentu. Itu sah di mata mereka,” kata dia.
Untuk menyelesaikan permasalahan itu, kata Citra, perlu kerja sama yang baik bagi semua pihak. Keluarga perlu memperbaiki komunikasi, sehingga anak merasa diakui dan dihargai keberadaannya.
“Jika komunikasi keluarga terbangun dengan baik, maka akan sangat kecil anak terlibat tawuran,” jelasnya.
Lalu sekolah perlu menyosialisasikan terkait konsep solidaritas. Bukan dalam bentuk ceramah yang membuat remaja enggan mendengarnya, tapi dalam bentuk aktivitas-aktivitas positif.
Meningkatkan aktivitas pemuda pemudi yang beraneka ragam jenisnya, sehingga semua remaja punya peluang untuk terlibat aktif di dalamnya. Semakin banyak anak remaja nongkrong tidak melakukan aktivitas lainnya, semakin besar kemungkinannya untuk terlibat tawuran
“Jadi semua pihak harus bekerjasama agar masalah ini bisa kita tanggulangi,” tuturnya.
Ikuti terus berita dan artikel Lampost.co lainnya di Google News.