Bandar Lampung (Lampost.co) — Akademisi Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) Benny Karya Limantara, menilai aparat penegak hukum bisa menjerat pengoplos beras. Apalagi dengan beberapa peraturan perundang-undangan.
Kemudian menurutnya, aparat bisa menjerat pelaku dengan UU No. 8 Tahun 1999. Pada pasal 62 ayat (1), pelaku dapat terpidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar. Itu jika pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan standar yang menjadi syarat dan ketentuan perundang-undangan. Tidak sesuai dengan label/kemasan, dan tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa dan/atau masa berlaku/manfaat
Selanjutnya, pelaku bisa terjerat dengan pasal 136 UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan. Pelaku terancam pidana penjara 2 tahun dan denda Rp 4 miliar. Bagi setiap orang yang memproduksi dan/atau memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi standar keamanan, mutu dan gizi.
Selain itu, pelaku juga bisa terjerat dengan pasal 383 KUHP dengan ancaman paling lama 1 tahun 4 bulan. Bagi pelaku yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Kemudian memperdaya orang dengan tipu muslihat sehingga orang menyerahkan barang.
Sanksi Hukum
Lalu, jika pengoplos beras juga mengurangi takaran, bisa terjerat dengan pasal 34 UU No. 2 Tahun 1981 tentang metrologi legal. Dengan ancaman pidana penjara maksimal 1 tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 juta. Itu bagi pelaku oplosan yang mengelabui takaran atau timbangan.
“Sejumlah perundang-undangan sudah mengatur pidana tersebut,” ujarnya.
Karena itu, para stakeholder terkait perlu melakukan upaya pencegahan. Misalnya, upaya pengawasan dan penindakan hukum. Seperti rutin melakukan inspeksi mendadak (sidak) kepada produsen dan distributor beras.
“Kemudian penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku usaha curang,” katanya
Selanjutnya, dengan upaya labelisasi dan sertifikasi, dengan cara mewajibkan pelabelan jelas terkait jenis, kualitas, dan asal-usul beras. Kemudian, dengan mendorong pelaku usaha mengikuti Sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI). Lalu, dengan upaya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat.
“Selain itu, harus ada penguatan peran lembaga perlindungan konsumen, serta digitalisasi dan pelacakan produk,” katanya.