Bandar Lampung (Lampost.co)— Ribuan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di gedung DPRD Provinsi Lampung. Dalam aksinya, massa sempat saling dorong dengan aparat kepolisian. Kericuhan pemicunya karena massa aksi ingin masuk ke halaman gedung DPRD Lampung.
Sebelum terjadi kericuhan, massa aksi mulai membuka paksa pagar kawat pembatas milik Polresta Bandar Lampung.
Para mahasiswa melakukan aksi dengan membawa tiga tuntutan. Tuntutan pertama yakni menuntut DPR dan Presiden untuk menghentikan RUU Pilkada. Kedua menuntut KPU untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60 dan 70. Tuntutan ketiga menghapus semua kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Sebelumnya, ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Lampung Menggugat melakukan aksi demonstrasi di Gedung DPRD Provinsi Lampung, Jumat, 23 Agustus 2024.
Dalam aksi parlemen jalanan itu, mahasiswa tersulut atas peristiwa di Senayan yakni DPR RI yang secara kilat merevisi RUU Pilkada.
Dalam aksi juga para mahasiswa melakukan orasi dan membawa tiga tuntutan. Tuntutan pertama yakni menuntut DPR dan Presiden untuk menghentikan RUU Pilkada.
Kedua menuntut KPU untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan 70. Dan tuntutan terakhir atau ketiga menghapus semua kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat, seperti UU Ciptaker dan PP turunannya.
Kemudian Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024, UU Minerba, KUHP, Tapera, RUU TNI/Polri, RUU Sisdiknas, RUU Penyiaran, dan RUU Wantimpres.
Penindasan Rakyat
Jenderal Lapangan Aliansi Lampung Menggugat, Naufal Alman Widodo, mengatakan dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah bersama DPR hanya mengeluarkan kebijakan yang menindas rakyat.
“Mulai dari pengesahan Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 yang memfasilitasi kenaikan biaya perguruan tinggi. Lahirnya Tapera yang sejatinya merupakan upaya untuk memasifkan investasi dengan menjadikan kelas pekerja sebagai tumbal. Sampai yang paling terbaru adalah manuver dari para elit oligarki yang semakin mengangkangi konstitusi dan mengebiri demokrasi,” terang Naufal.
Ia mengklaim pemeritah saat ini hanya mendahulukan kepentingan para pemilik modal dari pada rakyat secara umum.
“Hal itu bisa kita lihat dari betapa mudahnya pemerintah dalam mengacak-acak demokrasi dan konstitusi demi untuk mempertahankan otoritasnya,” tuturnya.
Naufal menyebut peristiwa yang terjadi saat ini semuanya saling terhubung melalui satu sebab yang sama, yakni Presiden Jokowi beserta kroninya.
“Mereka ingin memaksakan negara ini menjadi negara neoliberal dengan menjadikan pasar sebagai panglima. Sehingga wacana untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK),” pungkasnya.