Bandar Lampung (Lampost.co) — Setiap pagi sebelum pukul 07.00 WIB, Indra Nasution sudah duduk di bangku kemudi Suzuki Carry hijau milik bosnya. Ia harus berangkat lebih awal agar tidak kehilangan penumpang, sebab setelah jam itu, anak-anak sekolah sudah tiba di sekolah.
Indra merupakan satu dari sedikit sopir angkot jurusan Tanjungkarang–Garuntang yang masih bertahan di tengah kian sepinya penumpang. Ia mengaku tidak punya pilihan lain karena sulit mendapatkan pekerjaan baru.
“Bukan karena hasilnya besar, tapi karena tidak ada pekerjaan lain,” ujarnya.
Sebagai pengurus Perkumpulan Sopir Lampu Merah Persimpangan Garuntang (Lampu Siger), Indra bercerita bahwa dulu ada sekitar 135 unit angkot di trayek tersebut. Kini, jumlahnya menyusut drastis menjadi hanya sekitar 35 unit.
“Yang lain sudah dijual, dibawa ke luar kota, atau beralih jadi angkutan sayur,” ungkapnya, Selasa, 7 Oktober 2025. Menurut Indra, angkot kini sangat bergantung pada penumpang anak sekolah. Saat musim libur, para sopir nyaris tidak membawa uang ke rumah.
Dalam kondisi normal, ia hanya bisa membawa pulang Rp50–80 ribu per hari di luar setoran. Namun jika sedang sepi, kadang uang yang dibawa tak cukup untuk membeli bensin.
“Kadang kami minta uang ke bos, sekadar isi bensin motor. Dikasih Rp10 ribu saja sudah syukur,” katanya. Indra menilai, kemerosotan pendapatan itu mulai terasa sejak ojek online marak di Lampung sekitar sepuluh tahun lalu.
“Ojek online mengambil sekitar 40 persen penumpang kami. Sejak saat itu, penghasilan terus menurun,” ujarnya.
Ia juga pesimistis terhadap rencana program peremajaan angkot yang digagas Pemerintah Kota Bandar Lampung. Menurutnya, program itu hanya akan menguntungkan pemilik angkot, bukan para sopir.
“Kalau programnya untuk pemilik, kami tidak merasakan manfaatnya. Sopir cuma jalanin saja,” tegasnya.
Orang Tua
Pandangan serupa disampaikan Rizki, sopir angkot jurusan Tanjungkarang–Rajabasa. Ia menuturkan, kini penumpang angkot kebanyakan berasal dari kalangan orang tua yang tidak memiliki kendaraan dan kurang paham teknologi.
“Anak muda lebih pilih ojek online. Paling yang naik orang tua atau anak sekolah,” ujarnya. Kondisi tersebut semakin parah setelah pandemi Covid-19 pada 2020.
Sejak itu, penumpang semakin berkurang, sementara biaya operasional tetap tinggi. Rizki pun meragukan efektivitas program peremajaan angkot. “Sekarang saja susah cari penumpang, bagaimana mau nyicil angkot baru?” ujarnya.
Sementara itu, Saman, sopir angkot jurusan Panjang–Sukaraja, mengatakan pendapatannya tak menentu. Dalam sehari, ia hanya memperoleh antara Rp40–70 ribu. Bila sedang beruntung, ia bisa meraup hingga Rp100 ribu, meski jarang.
“Kalau anak sekolah libur, bisa cuma dapat Rp30 ribu. Kadang cuma setor tanpa bawa uang pulang,” keluhnya.
Kisah Indra, Rizki, dan Saman menggambarkan betapa beratnya perjuangan sopir angkot di Bandar Lampung. Di tengah derasnya arus modernisasi transportasi dan perubahan gaya hidup masyarakat, mereka berjuang keras agar roda kehidupan tetap berputar. (Bodi Man)