Bandar Lampung (Lampost.co)–Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menghapus jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Penghapusan ini diterapkan mulai tahun ajaran 2024/2025 dan diharapkan membuat siswa bebas memilih mata pelajaran sesuai minat.
Pemerhati pendidikan Universitas Lampung, M Thoha B Sampurna Jaya, menyebut meskipun kebijakan ini dinilai mengedepankan asas keadilan, namun jangan sampai hanya program percobaan semata.
Hal ini diperkuat dengan masa jabatan Mendikbudristek, Nadiem Makarim yang hanya tinggal menghitung bulan.
Ia khawatir pada saat pergantian menteri, kebijakan ini tidak lagi diteruskan, atau bahkan dibuat kebijakan baru.
“Karena kan selama ini begitu ganti menteri, ganti juga kebijakannya. Contoh sebelumnya belum selesai kurikulum 2013 zaman Pak Anis, muncul lagi yang baru Kurikulum mMerdeka. Kan kasian baik guru maupun anak didiknya,” keluhnya.
Akademisi FKIP Unila itu menilai, kebijakan yang terlalu sering berubah-ubah tanpa ada keberlanjutan akan membuat sektor pendidikan menjadi sulit berkembang.
“Dampaknya ya pendidikan kita nggak akan pernah maju-maju, muter-muter aja di situ,” ujarnya.
Kebijakan dihapuskannya jurusan IPA, IPS, dan Bahasa ini juga dinilai memberikan dampak positif dan negatif.
Untuk dampak positifnya, kata Thoha dengan adanya penghapusan ini, siswa dapat bebas memilih jurusan yang sesuai dengan keinginannya.
Keuntungannya, sejak awal siswa sudah mampu menentukan jurusan yang akan diambil ketika hendak melanjutkan ke perguruan tinggi.
Kemudian pembagian jurusan IPA dan IPS juga tak dapat dipungkiri menyebabkan adanya ketidakadilan.
Sebab siswa dengan jurusan IPA memungkinkan untuk mengambil jurusan IPA dan IPS. Sementara siswa IPS hanya diperbolehkan mengambil jurusan IPS.
“Ini kan tidak adil, jadi kalau memang sudah ngambilnya IPA ya itu dia ngambil saintek, tidak boleh ambil yang sosial,” ucapnya.
Kemudian dampak negatifnya, Thoha menilai kebijakan ini dapat menimbulkan permasalahan baru dalam manajemen waktu tenaga pendidik.
Tidak adanya pembagian jurusan memungkinkan adanya beberapa guru mata pelajaran tertentu yang tidak mendapatkan banyak jam mengajar akibat minimnya antusiasi siswa dalam memilih mapel tertentu.
Akibatnya tenaga pendidik menjadi tidak mampu memenuhi kewajiban mengajar 24 jam/minggu sebagai syarat mendapatkan tunjangan.
“Itu juga harus dipertimbangkan, maka dengan adanya penghapusan ini harus ada penyesuaian-penyesuaian baru yang harus diatur kembali secara matang,” ungkapnya.