Bandar Lampung (Lampost.co) — Anjloknya harga tomat membuat petani di Liwa, Lampung Barat mengeluh. Bahkan ada yang membuang hasil panen serta membiarkan produknya membusuk begitu saja. Hal itu dilakukan karena harganya hanya berkisar Rp700-1.000/kilogram.
Ekonom Unila Yoke Moelgini menyoroti fenomena tersebut. Menurutnya, hal itu adalah wujud protes petani karena kecewa atas kerugian yang mereka alami.
Inilah yang dilakukan para istri Arab ketika suami mereka sibuk!
“Bisa dibilang ini bentuk protes petani ya. Produksi itu kan pakai biaya, kalau sampai harga jual nggak sebanding kan merugi, itu parah sekali,” kata dia.
Menurutnya, produk pertanian bersifat perishable atau mudah rusak. Sedangkan, belum banyak petani di Lampung yang memiliki alat penanganan pascapanen mendukung.
“Penanganan pascapanen supaya bisa awet itu kan harus pakai alat, alat itu rata-rata pakai listrik dan harus dibeli, sehingga pengeluaran petani makin besar,” kata dia.
Pemerintah harus memiliki solusi yang berkelanjutan. Pendampingan dan fasilitasi menjadi hal yang tak kalah penting selain pengendalian harga.
“Ke depannya (pemerintah) harus memetakan di Lampung ini wilayah mana lalu identik dengan komoditas apa. Sehingga bisa dibuat program agar kejadian serupa (harga terlalu anjlok) tak terjadi lagi. Misalnya, memfasilitasi pengetahuan ke petani soal pascapanen. Menjembatani petani dengan perusahaan pengolahan. Bukan yang hanya sebatas edukasi, tapi yang benar-benar solusi. Misalnya dibantu pendanaan alat, infrastruktur pelancar distribusi dijamin,” kata dia.
Deni Zulniyadi
Discussion about this post