Jakarta (Lampost.co)— Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta Merdeka Belajar dievaluasi hingga program Guru Penggerak dihapus.
Hal itu mereka sampaikan pada Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2024.
Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri mengatakan P2G mendesak DPR RI dan DPD RI mengevaluasi program Merdeka Belajar yang sudah lahir sebanyak 26 Episode sejak Mendikbudristek Nadiem Makarim dilantik pada 2019.
Pihaknya juga meminta untuk mengevaluasi total terhadap kebijakan-kebijakan pendidikan era Nadiem Makarim.
“Hal ini seharusnya juga yang lembaga independen lakukan, termasuk organisasi profesi guru,”kata Haeri, Jumat, 3 Mei 2024.
Hal itu bertujuan agar kelangsungan atau memberhentikannya kebijakan ini benar-benar berjalan secara objektif, berorientasi perbaikan, jujur, dan berbasis data.
Perbaikan Fundamental
Bagi P2G, setelah hampir lima tahun menjabat, perubahan perbaikan fundamental pendidikan dan guru belum banyak terjadi, meskipun sudah 26 jilid Merdeka Belajar.
“Contoh hasil PISA kita, sekarang justru skornya makin jeblok. Bahkan terendah selama 10 tahun terakhir,” kata Haeri.
Dalam catatan P2G, era Nadiem Makarim sangat gemar memproduksi istilah-istilah yang secara esensial masih sebatas jargon.
Atau slogan belaka untuk kepentingan branding programnya. Seperti Merdeka Belajar; Kampus Merdeka; Kurikulum Merdeka; Platform Merdeka Mengajar (PMM).
Penggerak seperti Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, Kepala Sekolah Penggerak, Awan Penggerak; dan lainnya.
“P2G menilai baru di era Mas Nadiemlah, istilah yang sebenarnya jargon ini mengalami surplus produksi sampai-sampai publik tak paham, tak hafal juga. Apa saja isi 26 Episode Merdeka Belajar itu, apa bedanya Guru Penggerak dengan Guru bukan penggerak? Di zaman Mendikbud sebelumnya tidak begini,” ujar Iman.
P2G juga meminta kebijakan Program Guru Penggerak (PGP) yang anggarannya fantastis mencapai Rp3 triliun pada 2024 berhenti. Sebab, PGP bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Kesetaraan Peluang
Ia juga mengatakan PGP bersifat diskriminatif, esklusif, tidak berkeadilan. Serta tidak mengedepankan prinsip kesetaraan peluang.
Sebab, tidak semua guru berhak ikut pelatihan PGP untuk meningkatkan kompetensi. Padahal, menurut UU Guru dan Dosen Pasal 14 ayat (1) huruf d menyebut “Guru berhak memperoleh kesempatan meningkatkan kompetensi”.
Artinya, semua guru tanpa kecuali sangat berhak mendapatkan dan mengikuti pelatihan, tidak hanya Guru Penggerak seperti sekarang ini.
P2G menilai di era Nadiem juga guru terkotak-kotakkan dengan beragam label.
“Ada istilah Guru Penggerak, Guru Konten Kreator, Guru Fasilitator, Guru Komite Pembelajaran, dan lainnya. Hal ini jelas membuat kastaisasi guru, eksklusivitas, dan menyulut konflik horizontal sesama guru,”sebutnya
P2G juga meminta agar Paltform Merdeka Mengajar (PMM) yang dibuat Kemdikbudristek tidak wajib untuk mengisi atau di ikuti bertahap oleh guru.
Meskipun, sudah ada edaran dari Dirjen GTK Kemdikbud perihal ini, praktiknya di daerah. Dinas Pendidikan dan Pengawas sekolah masih mewajibkan guru mengikuti serangkaian kegiatan via PMM untuk mengejar sertifikat. Padahal ini menganggu proses pembelajaran siswa.
“Lebih menyedihkan adalah Dinas Pendidikan dan Pengawas Sekolah di daerah mengecek jumlah guru dan sekolah yang tidak mengerjakan PMM. Lalu menatakut-takuti bahwa tunjangan sertifikasi guru tidak akan cair jika guru tidak menuntaskan PMM,”ujarnya.
Tunjangan Sertifikasi
Padahal antara PMM dan tunjangan sertifikasi itu tak ada kaitannya. Ini sangat ironis dengan Merdeka Belajar.
Meski begitu, P2G mengapresiasi kebijakan efisiensi teknis e-kinerja SKP (Sasaran Kinerja Pegawai) yang terintegrasi PMM. Bagi guru ASN ini memberi kemudahan karena lebih simpel.
Namun, belum semua wilayah terkoneksi ke internet. Lalu masih banyak Pemda yang juga mewajibkan agar guru ASN melaporkan e-kinerja SKP nya via platform yang Pemda buat.
Alhasil, guru harus mengisi double, tentu ini kontraproduktif dan tampak antara pusat dan Pemda tidak sinergis. P2G juga setuju Kurikulum Merdeka berlanjut namun dengan perbaikan.
“Adapun mengenai kebijakan Kurikulum Merdeka, P2G merasa perlu dilanjutkan. Tentu sambil dilakukan perbaikan atau revisi bagian-bagian yang perlu disentuh, termasuk pelatihan guru, seperti halnya dulu Kurikulum 2013 yang direvisi pada 2017,” pungkasnya.