Bandar Lampung (Lampost.co) — Polemik penetapan tersangka terhadap Direktur PT Lampung Energi Berjaya (PT LEB), M. Hermawan Eriadi, terus menghangat. Agenda sidang praperadilan yang berlangsung sejak 28 November hingga 4 Desember 2025 di Pengadilan Negeri Tanjung Karang menyisakan perdebatan hukum yang tajam. Pembacaan putusan rencananya pada Senin, 8 Desember 2025.
Kuasa hukum Pemohon, Riki Martim, menilai Kejaksaan terburu-buru menetapkan kliennya sebagai tersangka. Ia menegaskan penyidik tidak pernah memanggil atau memeriksa Hermawan untuk memastikan dugaan perbuatan melawan hukum yang menjadi dasar statusnya.
“Sejak penyidikan Oktober 2024, klien kami tidak pernah mengetahui tuduhan dan bukti. Ini melanggar prinsip due process of law,” ujar Riki.
Menurutnya, dampak status tersangka tidak hanya menyentuh jabatan seseorang, tetapi juga martabatnya di ruang publik. Pemeriksaan calon tersangka menjadi mekanisme untuk memastikan tidak ada tindakan sepihak dalam menetapkan status hukum seseorang.
Pihak Kejaksaan berpendapat pemeriksaan calon tersangka tidak wajib karena KUHAP tidak mengenal istilah itu. Jaksa Rudy yang hadir dalam persidangan menegaskan pihaknya memeriksa Hermawan saat statusnya masih saksi. “Calon tersangka itu ya saksi. Pemeriksaan sudah beberapa kali,” kata Rudy.
Kejaksaan juga menyoroti Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014. Kewajiban pemeriksaan tersebut hanya muncul dalam pertimbangan, bukan amar putusan. Untuk itu, Kejaksaan menilai aturan tersebut belum mengikat sebagai norma.
Riki menolak argumen tersebut. Baginya, ratio decidendi justru esensi putusan MK. Ia menyebut MK menegaskan pemeriksaan calon tersangka harus berlangsung sebelum penetapan status. “Putusan MK final dan mengikat. Tidak perlu menunggu aturan pelaksana baru,” jelasnya.
Riki menyebut kewajiban pemeriksaan itu hadir sebagai pagar agar alat bukti teruji secara objektif serta tidak secara subjektif.
Riki menegaskan Hermawan hingga kini tidak pernah mengetahui bukti dan dugaan kerugian negara yang jaksa tuduhkan. Ia menilai hal itu memperlihatkan tindakan sepihak penyidik. “Bagaimana mungkin seseorang menjadi tersangka kalau tidak pernah memberi klarifikasi?” tutup Riki.
Pemeriksaan Calon Tersangka Perlindungan Hak Konstitusional
Dr. Dian Puji Simatupang, Ahli Administrasi Negara Universitas Indonesia, menyebut pemeriksaan calon tersangka menjaga hak seseorang untuk menjelaskan tindakan sebelum menerima stigma tersangka. Ia menilai hal itu penting terutama untuk kasus korporasi.
“Pemeriksaan itu memastikan hubungan antara kewenangan individu dan dugaan kerugian negara agar tidak salah orang,” kata Dian.
Ahli hukum pidana, Akhiar Salmi, menegaskan prinsip audi et alteram partem wajib selama proses penyidikan.
Akhiar mencontohkan Praperadilan PN Bandung pada 2024 terkait kasus Pegi Setiawan. Penetapan tersangka ketika itu tidak sah karena tidak ada pemeriksaan calon tersangka. Hakim berpendapat status tersebut tidak dapat dijatuhkan tanpa klarifikasi.
Menurut dia, prinsip itu semakin relevan dalam perkara korupsi yang sering menimbulkan bias antara kewenangan privat dan kewenangan jabatan.








