Bandar Lampung (Lampost.co) — Anggota Komisi II DPR RI dapil Lampung, Endro S. Yahman, mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandar Lampung, Senin, 15 Mei 2023.
Kedatangannya tersebut guna mempertanyakan soal sekitar 1.400 sertifikat tanah milik warga melalui program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) yang tak kunjung selesai dari tahun 2019.
Usai rapat tertutup di BPN Bandar Lampung, Endro S. Yahman menyampaikan, banyak laporan dari masyarakat Bandar Lampung melalui kelompok masyarakat (pokmas) terkait lamanya penerbitan sertifikat tanah PTSL.
Baca Juga: Program Konsolidasi Tanah BPN, Kabag Hukum Lamsel: Persyaratan SK Penetapan Lokasi Harus Lengkap
“Untuk mencocokan atau mengklarifikasi informasi itu, maka saya agendakan khusus untuk datang ke BPN Bandar Lampung. Kita ingin dengar langsung terutama terkait PTSL atau sengketa lahan di Bandar Lampung” katanya.
Politisi dari kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengaku, dari hasil pertemuan dengan BPN bahwa pada awalnya ada sekitar 1.400 sertifikat yang belum keluar. Namun saat ini tersisa sekitar 600-an PTSL lagi yang belum diterbitkan sertifikatnya.
Baca Juga: LBH Minta Menteri ATR/BPN Tuntaskan Kasus Mafia Tanah di Desa Malangsari
Sementara kata dia, yang lainnya mungkin itu salah komunikasi, dimana pokmas itu tidak memperoleh data yang benar dari kepesertaan masyarakat yang sudah diberikan sertifikat tanah tersebut.
“Karena sertifikat itu setelah diterbitkan tidak ke pokmas, tapi harus ke orang yang bersangkutan tidak boleh diwakilkan. Kadang warga sudah terbit sertifikatnya tidak melapor ke pokmas-nya,” katanya.
Sertifikat yang belum diterbitkan ini nanti pihaknya akan meminta di Kementerian ATR/BPN untuk dianggarkan di 2024.
“Nanti kita mintakan dari Kementerian ATR untuk menyelesaikan PTSL yang belum selesai,” katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandar Lampung Djujuk Trihandayani menjelaskan, tersisa 600-an PTSL karena mereka tidak masuk nominatif. Untuk melakukan data ulang ini perlunya anggaran dari Kementerian ATR/BPN.
Tidak masuk nominatif itu, jelasnya, berarti sudah melampaui target dan itu tidak bisa diselesaikan karena anggarannya sudah tidak ada.
Misalnya satu kelurahan targetnya 50 PTSL, tapi mereka memasukkan 100 sertifikat, maka yang 50 ini tidak terbiayai.
Lalu ada juga dari 600 itu yang tanahnya masuk wilayah Lampung Selatan, serta ada yang tumpang tindih. Jadi permasalahannya masing-masing bidang tanah itu berbeda-beda.
“Karena itu kami perlu waktu untuk menyelesaikan persoalan ini, karena tidak bisa langsung satu masalah diselesaikan,” ujarnya.