Asrian Hendi Caya
Peneliti Pusiban Institute
EKONOMI Indonesia mengalami kontraksi pada triwulan II tahun 2020 sebesar -5,32%. Kondisi ini sudah diperkirakan karena sejak Maret pemerintah menetapkan pandemi Covid-19. Di beberapa negara malah sudah lebih awal, sejak akhir 2019. Hanya saja, kedalaman kontraksi yang dianggap terlalu besar. Selama semester I-2020 (triwulan I dan II) ekonomi Indonesia sudah kontraksi -1,26%, sedangkan skenario terburuk pemerintah mencanangkan kontraksi sebesar -0,4%.
Presiden Jokowi sempat marah-marah kepada para menteri karena dianggap belum tanggap darurat sehingga belum kerja keras dengan cara yang luar biasa (extraordinary).
Kemarahan Presiden tidak terlepas dari kondisi ekonomi yang lebih buruk dari yang diperkirakan. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa pada triwulan III masih akan kontraksi sehingga ekonomi Indonesia masuk resesi.
Banyak negara sudah dua triwulan mengalami kontraksi sehingga masuk kategori resesi. Bila kita simak kinerja ekonomi triwulan II, memang salah satu sumber kontraksi adalah pengeluaran konsumsi pemerintah.
Pada triwulan II pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh negatif (kontraksi) sebesar -6,90% atau semester I-2020 sudah kontraksi sebesar -2,39%.
Dalam situasi ekonomi sulit, pemerintah diharapkan menjadi solusi dengan memperbesar pengeluaran. Dunia usaha mengalami penurunan aktivitas bahkan beberapa menutup sementara usahanya, terutama sektor perhotelan, tempat hiburan, dan wisata serta transportasi.
Itulah sebabnya Presiden Jokowi berang karena penyerapan dana untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 yang mencapai Rp695,2 triliun masih rendah. Pada triwulan III ada upaya yang besar dari pemerintah untuk meningkatkan pengeluaran konsumsi pemerintah melalui berbagai kegiatan sosial maupun ekonomi.
Ada bantuan sosial berupa pangan, kesehatan, dan pendapatan. Ada juga bantuan ekonomi, baik berupa modal, relaksasi pinjaman, maupun pinjaman berbunga rendah. Diharapkan, dengan pengeluaran pemerintah tersebut, ada permintaan barang dan jasa yang menggerakkan produksi dan distribusi, ada peningkatan daya beli masyarakat yang dibantu, sehingga permintaan barang dan jasa juga meningkat.
Kemudian, memulihkan aktivitas produksi dan distribusi, lalu ada relaksasi pinjaman yang mengurangi beban perusahaan sehingga tetap dapat beroperasi.
Salah satu bentuk bantuan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya beli adalah dengan bantuan upah kepada pekerja. Saat ini, pekerja ada yang dirumahkan, ada yang diberhentikan (PHK), dan ada yang bekerja tidak penuh serta ada yang pendapatannya dipotong.
Semua berimplikasi pada pengurangan pendapatan sehingga daya beli juga turun. Akibatnya, aktivitas ekonomi juga berkurang baik produksi maupun distribusi. Inilah di antara penyebab kontraksi perekonomian.
Subsidi Bantuan Upah
Bantuan upah pekerja ini dimaksudkan untuk memulihkan kesejahteraan pekerja yang turun daya belinya dan menciptakan pasar karena ada tambahan daya beli. Dampak yang diharapkan dari kebijakan ini adalah menggerakkan perekonomian. Bantuan upah diberikan sebesar Rp600 ribu per bulan selama empat bulan sehingga per pekerja akan menerima sebesar Rp2.400.000 yang didistribusikan dalam dua tahap.
Adapun sasaran pekerja yang akan mendapat bantuan upah sebanyak 15.700.000 pekerja. Dengan demikian, akan ada sekitar Rp37,68 triliun tambahan dana yang bergulir. Melalui mekanisme multiplier effect (efek ganda) dalam perekonomian, setidaknya dampaknya akan setara dengan sekitar Rp100 triliun.
Ini akan sangat membantu dalam menggerakkan perekonomian. Apalagi, banyak kebijakan lain yang juga dimaksudkan untuk menggerakkan perekonomian bersamaan dengan membantu pemulihan kesejahteraan masyarakat.
Belum lagi kebijakan dalam bentuk bantuan dan fasilitasi kepada dunia usaha terutama bagi usaha ultra, makro dan mikro, serta UKM. Bila semua kebijakan baik yang bersifat sosial dan ekonomi secara simultan bergerak bersamaan, diharapkan pada triwulan III perekonomian tidak lagi kontraksi.
Berdasarkan kebijakan bantuan upah pekerja, yang berhak menerima adalah pekerja dengan upah di bawah Rp5 juta dan masih aktif sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan dengan membayar iuran sampai dengan Huni 2020. Garis kemiskinan per Maret 2020 sebesar Rp454.652 per kapita per bulan.
Adapun jumlah anggota keluarga sebanyak 4,66 sehingga garis kemiskinan per rumah tangga Rp2.118.678 per bulan. Artinya, kriteria upah tersebut sudah jauh di atas garis kemiskinan keluarga. Semoga saja ini banyak mengakses pekerja yang mendekati garis kemiskinan keluarga sehingga juga berdampak menanggulangi kemiskinan.
Adapun jumlah sasaran sebanyak 15.700.000 pekerja. Dengan jumlah pekerja secara nasional mencapai 129,36 juta orang dan yang berstatus pekerja/buruh/karyawan sebanyak 50,62 juta orang (39,13%) per Februari 2020 maka cakupan kebijakan bantuan upah sekitar 34,57%. Cakupan ini relatif sudah memadai, dari sisi membantu pekerja terdampak Covid-19. Mudah-mudahan saja, pekerja lainnya juga ada solusi melalui kebijakan pemerintah lainnya.
Berdasarkan status pekerjaannya sebanyak 74,08 juta (57,27%) bekerja di sektor informal. Pekerja bebas di pertanian sebanyak 4,70 juta (3,63%), pekerja bebas nonpertanian sebanyak 5,88 juta (4,55%), dan pekerja tidak dibayar (keluarga) sebanyak 17,76 juta (13,73%).
Berdasarkan jam kerja, pekerja tidak penuh (<35 jam per minggu) sebanyak 38,86 juta (30,94%). Mereka ini hampir pasti tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Pendapatannya cenderung lebih rendah dan tidak pasti.
Dampak pandemi Covid-19 pasti lebih besar terhadap para pekerja ini dan jumlahnya juga relatif besar. Akan lebih besar kemanfaatannya bila kebijakan pemerintah secara bersamaan dapat menggerakkan ekonomi sekaligus memulihkan kesejahteraan masyarakat terutama kelompok keluarga miskin. *