Unila (Lampost.co)–“Indonesia adalah negara kaya akan produk-produk potensi Indikasi Geografis (IG) berupa sumber daya alam. Kekayaan ini dapat dijadikan aset dan dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian negara. Oleh sebab itu, pelindungan terhadap produk tersebut merupakan landasan penting dalam keberlangsungan mekanisme pasar”.
Hal tersebut disampaikan Direktur Merek dan IG, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Kurniaman Telaumbanua dalam acara Launching Indonesia’s Geographical Indication Show 2022 (IGIS 2022) secara virtual melalui Zoom pada Jumat, 13 Mei 2022.
Secara keseluruhan saat ini, DJKI mencatat ada 116 IG yang 101 diantaranya berasal dari Indonesia, dan 15 sisanya adalah IG dari luar yang didaftarkan di Indonesia. Produk IG Indonesia sebagian besar merupakan hasil sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang menyumbang PDRB Provinsi Lampung adalah sektor perkebunan sebesar 6,36% di tahun 2021. Komoditas yang cukup menjanjikan di sektor perkebunan adalah kakao yang saat ini diusahakan seluas 83.720 ha dengan total produksi sebesar 57.486 ton.
Sejalan dengan semangat IGIS 2022, produk biji kakao asal Lampung, sangat potensial untuk mendapatkan dan mendorong pasar baru, peningkatan standar mutu, dan tentu saja atribut atau reputasi yang berbeda sebagai syarat utama untuk didaftarkan sebagai produk IG. Tentu saja, diperlukan kerja keras supaya produk kakao Lampung ini tidak hanya secara formal mendapatkan sertifikat IG, tetapi juga dapat meningkatkan nilai tambah untuk memperbaiki kondisi petani kakao beserta unit usaha dan lembaga yang mendampinginya.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengembangkan hasil panen biji kakao menjadi produk yang tidak tergantikan, aman, bernutrisi, dan mempunyai kualitas tinggi. Biji kakao asal Lampung yang sudah berkualitas tinggi tersebut, dapat mengikuti kompetisi tingkat dunia Cocoa Excellent – Salon du Chocolat Paris, sehingga mendapatkan pengakuan bahwa biji kakao Lampung mempunyai reputasi dan kualitas khusus yang tidak tergantikan.
Pengakuan dan reputasi ini menjadi langkah awal untuk bisa diajukan sebagai produk IG Indonesia. Selain itu, di dalam proses selanjutnya, mendaftarkan juga produk IG ini di negara-negara yang potensial sebagai pembeli, dalam hal ini negara-negara di eropa sebagai konsumen utama cokelat dunia. Pendaftaran di negara pembeli ini, selain untuk edukasi buat konsumen, juga menghindari adanya pendaftaran dengan nama yang sama atas produk tersebut.
Untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih besar lagi, biji kakao Lampung ini dapat ditambahkan dengan sertifikasi lain yang sekiranya diperlukan, seperti sertifikat berkelanjutan (organik, Fairtrade, dan Rainforest Alliance).
Ceruk pasar yang lebih besar akan diperoleh juga apabila menjalin kerjasama dengan cokelat artisan yang berani membeli dengan harga premium serta melakukan branding untuk mendapatkan keunggulan kompetitif, pengakuan pasar, serta citra eksotisme dan kelangkaan.
Pengembangan IG biji kakao Lampung harus merupakan kolaborasi kelompok tani kakao bersama dengan unit pengolah, komunitas lingkungan, dan pemerintah daerah. Provinsi Lampung dengan kawasan konservasinya bisa menjadi keuntungan apabila di produk IG biji kakao Lampung dinamakan “Rainforest Fermented Cocoa Lampung” yang mempromosikan kualitas biji kakao tinggi dan menunjang peningkatan kehidupan petani kakao dan perlindungan hutan secara berkelanjutan.**
Penulis:Wahyu Wibowo, M.Si., Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan, Universitas Lampung dan Executive Director, Cocoa Sustainability Partnership