Jakarta (Lampost.co): Indonesia belum sepenuhnya menjalankan demokrasi yang substansial usai 26 tahun reformasi. Cita-cita terbebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih jauh panggang dari api. Alih-alih, praktik demokrasi yang terjadi di Tanah Air masih bersifat prosedural saja.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan, demokrasi prosedural yang sekadar mengedepankan eksisnya trias politika, partai politik, dan kontestasi pemilihan. Namun, komponen tersebut nyatanya tidak berjalan secara demokratis.
“Pemilunya akan berlangsung demokratis atau tidak, itu urusan belakangan, yang penting ada pemilu. Praktik seperti Orde Baru itu untuk melegitimasi satu sistem otoritarian atas nama demokrasi,” kata Firman di Jakarta, Selasa, 10 September 2024.
Ia menyampaikan hal itu dalam focus group discussion (FGD) bertajuk Pembangunan Partai Politik dan Demokrasi Indonesia Emas 2024 dalam Perspektif Administrasi Publik. Ikatan Alumni Politeknik STIA Lembaga Administrasi Negara (LAN) Jakarta menjadi penyelenggara diskusi tersebut.
Menurut Firman, demokrasi dan partai politik merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dalam praktik yang substansial, melampaui prosedural, demokrasi seharusnya tak hanya bermakna sebagai sistem dari, oleh, dan untuk rakyat semata. Sebab, kerap kali kepentingan rakyat terbajak oleh kekuatan yang lebih kuat dari sisi finansial, misalnya oligarki.
“Saya kok semakin yakin, setidaknya di dalam konteks Indonesia, arah kita ini tidak sedang menuju penguatan demokrasi, tapi kita menuju posdemokrasi,” ujarnya.
Istilah itu menggambarkan adanya anasir-anasir antidemokrasi yang tumbuh dalam sistem demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, Firman menyinggung simpulan organisasi wadah pemikir atau think tank global yang mengelompokkan Indonesia sebagai demokrasi cacat.
“Padahal kita sudah di dekade kedua reformasi. Kita sudah berangkat dari satu semangat untuk mendemokrasikan Indonesia yang terbebas dari praktik KKN, tapi yang terjadi adalah satu regresi demokrasi,” tandas Firman.