Jakarta (Lampost.co): Indonesia saat ini berada pada persimpangan antara demokrasi dan otoritarian. Pemerintahan yang demokratis secara global tengah mengalami resesi selama dua dekade berturut-turut. Di Indonesia, sekalipun kualitas kebebasan sipil meningkat. Namun, problem dalam hak-hak politik serta aspek kelembagaan demokrasi membuat keseluruhan skor indeks demokrasi menurun.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengamati bahwa kondisi demokrasi Indonesia semakin memprihatinkan. Terutama dalam 5-10 tahun terakhir dengan terjadi pembalikan demokrasi menjadi non-demokrasi.
“Yang terjadi hari ini adalah sebuah fenomena pembalikan-pembalikan demokrasi. Alih-alih menjadi sebuah transisi demokrasi ajek. Saat ini kita justru menjadi saksi bagaimana kualitas demokrasi kita semakin menurun,” jelasnya pada Rabu (30/10).
Menurut Firman, saat ini Indonesia sedang berada pada persimpangan antara demokrasi dan otoritarian. Kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini sebagai competitive authoritarianism atau konsep otoritarianisme kompetitif dan post-democracy atau pascademokrasi.
“Terutama di 5-10 tahun terakhir. Sehingga, jangan-jangan pandangan yang menyatakan bahwa saat ini kondisi demokrasi di Indonesia adalah sistem hibrid itu adalah benar. Artinya, demokrasi itu berada di persimpangan antara tendensi oligarki dan non-demokrasi, itu bisa coexist atau jalan hand-in-hand dengan demokrasi,” tuturnya.
Firman menjelaskan bahwa competitive authoritarianism merupakan fenomena sistem yang tidak sepenuhnya otoritarian. Hal itu mengingat masih berlangsungnya kompetisi pemilu hingga terbukanya keran pembentukan partai politik. Namun, iklim demokrasi yang ada juga tidak dapat berjalan baik karena kompetisinya ada manipulasi oleh pemerintah melalui kebijakan yang bersifat elitis.
“Hari ini kita menjadi saksi munculnya competitive authoritarianism. Jadi, secara substansi belum demokrasi, tendensinya adalah otoriter. Salah satu parameternya adalah adanya kebijakan-kebijakan yang bersifat elitis dan eksklusif atau ada istilah elitis demokrasi atau post demokrasi,” kata Firman.
“Tetapi, demokrasi kita sudah kompetitif dengan adanya partai politik yang muncul relatif lebih mudah, serta oposisi mampu bersuara di parlemen,” lanjutnya.
Hidup Bersamaan
Karena kondisi demokrasi ini, kata Firman, ada pandangan bahwa oligarki dan demokrasi seolah hidup bersamaan di dalam sistem pemerintahan Indonesia saat ini. Dengan kata lain, Firman menyebut Indonesia saat ini sudah ada pengangkangan oleh oligarki sebagai sumber pendanaan, sedangkan pelaksanaannya adalah partai politik.
“Pandangan Forbes dan McKinsey mengatakan bahwa Indonesia adalah contoh kasus di mana demokrasi dan non demokrasi atau oligarki bisa berjalan beriringan,” jelasnya.
Firman mengungkapkan, keraguan atas kualitas demokrasi Indonesia tidak hanya ada pertanyaan ilmuwan politik dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Lembaga-lembaga pemerhati demokrasi tersebut juga mempertanyakan terkait status demokrasi di Indonesia.
Hal tersebut tampak dari data indeks demokrasi oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menunjukkan skor demokrasi Indonesia pada 2023 adalah sebesar 6,53. Artinya, kualitas demokrasi Indonesia dinilai EIU statusnya flawed democracy atau demokrasi cacat.
Atas dasar itu, Firman mengakui walaupun riset Indeks Pelembagaan Partai Politik di Indonesia oleh BRIN menunjukkan bahwa parpol mendapatkan skor 74,16 dari 100 yang berarti memiliki performa sedang, tapi kondisi demokrasi masih terlihat memprihatinkan.
“Artinya, meskipun secara pelembagaan ada optimisme, tapi secara umum, overall, kondisi demokrasi Indonesia semakin memprihatinkan,” jelasnya.
Adapun riset Indeks Pelembagaan Partai Politik di Indonesia ini merupakan alat ukur akademik untuk mengukur seberapa kelembagaan sembilan parpol di parlemen periode 2019-2024 berdasarkan dimensi derajat kesisteman, infusi nilai, dan kemandirian partai. Tujuan dari indeks untuk melihat sejauh mana parpol di Indonesia melembagakan dirinya setelah dua dekade era reformasi.