Jakarta (Lampost.co) — Tantangan yang industri media hadapi saat ini menuntut sikap pemerintah yang tepat sebagai bagian upaya mewujudkan perlindungan kepada setiap warga negara.
“Skema yang relevan melalui kebijakan yang mampu melindungi industri media agar mampu mempertahankan hidup dan kualitas produknya, harus diwujudkan,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat memberi sambutan pada diskusi daring bertema Gelombang PHK di Industri Media oleh Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, 30 Oktober 2024.
Diskusi ini menghadirkan narasumber Dr. Prabunindya R. Revolusi, S.T., M.I.K (Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Digital RI) dan Totok Suryanto (Anggota Dewan Pers).
Kemudian Nany Afrida (Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen/AJI) dan Revolusi Riza Zulverdi (Wakil Pemimpin Redaksi CNN Indonesia).
Selain itu, hadir pula Amelia Anggraini (Anggota Komisi I DPR RI) sebagai penanggap. Dr. Irwansyah (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) menjadi moderator dalam diskusi ini.
Menurut Lestari, tantangan yang industri media hadapi saat ini cukup kompleks antara lain harus bersaing dengan influencer, kompleksitas regulasi, dan kue iklan yang semakin banyak jadi rebutan sejumlah pihak.
Pola industri media berubah, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, model bisnis juga harus berubah.
Perubahan pola industri media, ujar Rerie, adalah sebuah keniscayaan. Beberapa tahun lalu, tambah dia, surat kabar di dunia sudah terprediksi akan mati. Saat ini televisi pun sudah bukan pilihan utama bagi masyarakat untuk mengonsumsi berita.
Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu berpendapat, kondisi tersebut harus menjadi perhatian bersama, bukan hanya pemerintah.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong agar skema untuk melindungi keberlangsungan industri media di tanah air dapat segera terwujudkan.
Kondisi Tidak Baik
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Digital RI, Prabunindya R. Revolusi mengungkapkan media mainstream saat ini tidak dalam kondisi yang baik-baik saja.
Di sisi lain, ujar Prabu, sapaan akrab Prabunindya, media mainstream agar tetap meningkatkan kualitas produknya.
Media mainstream, tambah Prabu, saat ini berhadapan dengan persaingan dengan produk-produk media digital yang marak.
Prabu berharap dua entitas media itu bisa sama-sama melakukan kerja-kerja jurnalistik untuk memastikan demokrasi di Indonesia tetap berjalan dengan baik.
Menurut Prabu upaya untuk mewujudkan hal itu bisa berjalan dengan pendekatan transformatif agar media mainstream bisa memanfaatkan disrupsi digital sebagai peluang.
Prabu mengakui upaya transformasi digital bagi media mainstream merupakan bagian dari tugas negara.
Hal ini agar ruang publik di tanah air dapat terisi dengan informasi yang terverifikasi dengan baik.
Gelombang PHK
Anggota Dewan Pers, Totok Suryanto berpendapat isu gelombang PHK di industri media merupakan dampak disrupsi di industri media.
Saat ini, jelas Totok, kondisi yang industri media hadapi banyak angle negatifnya. Menurutnya industri media itu padat karya dan padat modal.
Namun, ujar dia, anak-anak muda saat ini hanya bermodal HP bisa memproduksi informasi ringan dan konten itu ada yang mengikuti sampai 3 juta orang.
Media mainstream, tambah Totok, bekerja dengan tata kelola yang bisa mereka pertanggungjawabkan. Iklan dan redaksi keduanya harus bisa mereka kelola dengan baik.
Negara, jelas Totok, kita harapkan mampu mendorong swasta untuk beriklan pada media mainstream agar keempat fungsinya sebagai penyampai informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, dapat berjalan dengan baik.
“Pilar ke-4 demokrasi harus tetap ditegakkan untuk menjalankan fungsi kontrol berjalannya demokrasi,” ujarnya.
Totok berharap negara bisa mencari formula yang tepat agar iklan swasta dan pemerintah dapat menghidupkan kembali media mainstream.
Memprihatinkan
Ketua Umum AJI, Nany Afrida mengungkapkan kondisi jurnalis saat ini sangat memprihatinkan, sudah jatuh tertimpa tangga di tengah meredupnya industri media.
Diakui Nany persepsi bahwa profesi jurnalis itu murah berdampak pada penghargaan terhadap jurnalis itu sendiri. “30% jurnalis di Indonesia berpenghasilan di bawah UMR,” ujarnya.
Organisasi AJI, tegas Nany, berjuang menegakkan kebebasan pers dan kesejahteraan jurnalis dalam menjalankan aktivitasnya.
Menurut Nany, AJI itu semacam serikat pekerja agar para jurnalis memiliki sisi tawar yang seimbang dengan para pemilik media.
Wakil Pemimpin Redaksi CNN Indonesia, Revolusi Riza Zulverdi mengungkapkan saat ini CNN Indonesia sedang menghadapi masa-masa yang cukup sulit.
Sejak 2020 ketika pandemi, tambah dia, sampai sekarang kondisinya belum membaik. “Kami masih mencari titik keseimbangan baru,” ujar Revo, sapaan akrab Revolusi Riza.
Untuk menghadapi kondisi saat ini, Revo menilai, belum perlu untuk merevisi UU Pers. Karena, jelas dia, UU Pers ini isinya filosofis. “Kita harus mampu menjamin esensi kemerdekaan pers bisa tetap tegak di Indonesia,” ujarnya.
Industri media, tambah Revo, harus mampu melakukan adaptasi dengan kondisi saat ini dengan ekosistem yang lebih fair.
Langkah Strategis
Anggota Komisi I DPR RI, Amelia Anggraini berpendapat untuk menghadapi gelombang PHK pada industri media harus segera ada langkah strategis yang berkelanjutan.
Menurut Amelia, upaya revisi UU Penyiaran harus kita tujukan untuk menjawab perkembangan yang terjadi saat ini sebagai bagian langkah untuk melindungi industri.
Dalam proses tersebut, jelas Amelia, peran pemerintah penting dalam membuat regulasi yang adaptif. Sehingga media dapat bersaing secara sehat dan melindungi media lokal yang seringkali kalah bersaing dengan media global.
Staf khusus Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, Usman Kansong berpendapat bahwa pers adalah pilar ke-4 demokrasi sangat penting untuk kita ingat kembali.
Kita semua, ujar Usman, termasuk pemerintah yang bersama-sama menegakkan demokrasi di negeri ini harus bertanggung jawab menyelamatkan industri media yang kondisinya tidak baik-baik sekali saat ini.
Tanpa pers dan media, tegas Usman, bangunan demokrasi negara ini akan timpang, lama kelamaan akan reot, dan kelak akan rubuh.
Pemerintah Presiden Jokowi, ujar Usman, telah berupaya menyelamatkan industri media dengan menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas (Perpres Publisher Rights).
Namun, tambah dia, Perpres Publishers Right ini tidak cukup untuk mempertahankan keberlangsungan hidup media saat ini.
Kita, tegas Usman, menantikan peran negara di bawah kepemimpinan Prabowo dalam menyelamatkan keberlangsungan hidup media melalui kebijakan afirmatif dalam jangka pendek.