Jakarta (Lampost.co): Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum dan HAM) menegaskan penguatan tata kelola internal partai politik (parpol) mewujudkan parpol yang demokratis. Selanjutnya, akan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat.
Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kemenkum dan HAM Baroto menilai penguatan tata kelola internal dapat membuat partai politik kembali kepada muruah.
“Apabila parpol berfungsi dengan baik, maka tujuan untuk membangun negara yang demokratis bisa tercapai,” kata Baroto di Jakarta, Jumat, 27 September 2024.
Ia mengatakan salah satu permasalahan tata kelola internal partai politik yang terjadi saat ini. Salah satunya berupa ketidaksesuaian langkah dengan standar anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART).
Dalam AD/ART, biasanya suatu partai politik telah menetapkan waktu penyelenggaraan kongres maupun musyawarah nasional (munas). Akhirnya, mekanisme pergantian kepengurusan.
Namun saat ini, ia melihat banyak partai tidak ada identitas. Mereka tiba-tiba mengajukan perubahan kepengurusan kepada Ditjen AHU Kemenkum dan HAM tanpa menyelenggarakan kongres atau munas.
Selain ketidaksesuaian langkah partai politik dengan AD/ART, ia membeberkan terdapat beberapa permasalahan lainnya dalam tata kelola internal partai politik. Perinciannya, peran pemerintah terhadap partai politik, status badan hukum partai politik apabila ada pelanggaran administrasi. Kemudian, mekanisme evaluasi partai politik, hingga fenomena akuisisi partai.
Kemenkum dan HAM mencatat terdapat 76 partai politik berbadan hukum. Namun, hanya 44 partai politik yang aktif hingga saat ini. Termasuk tiga partai baru yakni Partai Gelora, Partai Ummat, dan Partai Indonesia Bangkit Bersatu (IBU). Kemudian, 18 partai yang merupakan peserta pemilihan umum (pemilu).
Selain itu, tercatat pula sebanyak 21 partai melakukan perubahan nama dan 14 partai politik merupakan akuisisi. Sebagai salah satu implikasi berbagai permasalahan tata kelola internal yang ada, Baroto menyebutkan partai politik yang baru lahir saat ini cenderung hanya melahirkan politikus, bukan negarawan. “Ini berbeda dengan partai-partai lama yang memang sudah settle sampai saat ini,” pungkasnya.