Jakarta (Lampost.co)–Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto membuat langkah mengejutkan dengan membatalkan mutasi Letjen Kunto Arief Wibowo hanya dalam waktu sehari setelah keputusan mutasi sebelumnya terbit. Melalui Surat Keputusan Nomor Kep/554.a/IV/2025 tertanggal 30 April 2025, Agus resmi mencabut KEP/554/IV/2025 yang sempat menggeser Kunto ke posisi Staf Khusus KSAD atau jabatan nonaktif (nonjob).
Keputusan pembatalan tersebut menjadikan Letjen Kunto tetap menjabat sebagai Pangkogabwilhan I, jabatan strategis yang baru terembannya sejak Januari 2025. Langkah ini juga membatalkan rencana promosi Laksda Hersan, mantan ajudan sekaligus Sesmilpres Jokowi, untuk menggantikan posisi tersebut.
Dengan demikian, Laksda Hersan tetap menjabat sebagai Pangkoarmada III dan belum naik pangkat menjadi bintang tiga seperti yang direncanakan sebelumnya.
Baca Juga: Setara Institute Nilai Pembatalan Mutasi Letjen Kunto Arief Sarat Muatan Politis
Langkah pembatalan mutasi ini tercatat sebagai yang pertama kali terjadi dalam sejarah TNI. Keputusan strategis diganti dalam hitungan hari. Kejadian ini menimbulkan berbagai spekulasi mengenai muatan politis di balik dinamika mutasi perwira tinggi. Terutama karena Letjen Kunto merupakan putra dari Jenderal (Purn) Try Sutrisno, yang ikut menandatangani desakan pencopotan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wapres oleh Forum Purnawirawan TNI.
Jenderal Agus Subiyanto, Panglima TNI ke-23, memiliki kedekatan sejarah dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak masa tugasnya di Solo. Kariernya naik pesat dari Dandim Surakarta hingga menjadi Danpaspampres, KSAD, dan kini Panglima TNI. Ia menjadi Panglima TNI pada 22 November 2023 menggantikan Laksamana Yudo Margono.
Kedekatan historis antara Agus dan Jokowi kembali mencuat seiring keputusan mutasi ini. Memunculkan sorotan tajam publik terhadap netralitas TNI dalam politik praktis.
Sebelumnya, Setara Institute melalui Ketua Dewan Nasional Hendardi juga menilai mutasi dan pembatalan mutasi Letjen Kunto sebagai indikasi kuat adanya motif politik. Dan menyebut proses tersebut tidak melibatkan Wanjakti (Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi) secara profesional.