Jakarta (lampost.co)–Penyusunan revisi UU TNI akan berdampak luas terhadap tata kelola pertahanan negara dan tidak sejalan dengan prinsip profesionalisme TNI. Secara substansi, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan RUU TNI mengandung sejumlah pasal bermasalah yang mengancam demokrasi dan penegakan HAM.
“Agenda revisi UU TNI akan melemahkan profesionalisme militer itu sendiri dan sangat berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI. Karena memungkinkan militer aktif akan dapat menduduki jabatan-jabatan sipil,” katanya, akhir pekan lalu.
Perluasan penempatan TNI aktif di jabatan sipil, tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah. Misalnya, eksklusi sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan pembuatan kebijakan, dan loyalitas ganda.
Pada hari kedua pelaksanaan rapat panja revisi UU TNI, terungkap bahwa terjadi upaya perluasan kementerian/lembaga (K/L)yang dapat diisi oleh prajurit aktif. UU TNI saat ini hanya memungkinkan prajurit aktif bertugas pada 10 K/L.
Dalam rapat sebelumnya dengan Menteri Pertahanan, sepakat adanya perluasan pada 5 K/L baru.
Anggota Komisi I DPR RI Tb Hasanuddin mengungkap, satu perluasan penempatan prajurit aktif itu adalah Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Pasalnya, peraturan presiden (perpres) pembentukan BNPP mengatur soal penempatan anggota TNI.
“Soal penempatan prajurit TNI di tempat lain, di luar dari yang 16, itu tetap harus mengundurkan diri. Itu sudah final,” terang Hasanuddin.
Berlawanan dengan Reformasi TNI
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah (Castro) menilai Revisi UU TNI secara diam-diam bertentangan dengan agenda reformasi TNI.
Menurut Castro, revisi UU TNI akan menarik kembali TNI ke dalam peran sosial politik bahkan ekonomi-bisnis yang di masa Orde Baru terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum. “Dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi. Revisi itu mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas/kekebalan hukum anggota TNI,” ujarnya.
Jika ada pembiaran terhadap hal itu, akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi. “Ini ancaman pada negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran berat HAM di masa depan,” tegas Castro, Minggu, 16 Maret 2025.