Jakarta (Lampost.co)–Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyerukan penghentian praktik eksploitasi alam yang terus berlangsung atas nama investasi. Dalam siaran resmi usai Sidang Raya XVIII di Rantepao, Toraja, PGI menegaskan krisis ekologis saat ini telah memasuki fase kritis dan mengancam kelangsungan hidup generasi mendatang.
PGI menyebut praktik industri ekstraktif—mulai dari tambang, perkebunan skala besar, hingga reklamasi—berlangsung tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan hidup. Kerusakan hutan, pencemaran air, dan hilangnya ruang hidup masyarakat lokal menjadi dampak nyata dari pembangunan yang tidak berpihak pada keadilan ekologis.
“Tanah, air, udara, dan seluruh ciptaan Tuhan yang seharusnya terjaga, justru tereksploitasi secara serakah. Demi mengejar keuntungan sesaat, alam dibiarkan rusak dan masyarakat tertinggalkan,” ujar Sekretaris Umum PGI, Pdt. Darwin Darmawan, dalam keterangannya, Selasa, 10 Juni 2025.
Baca Juga: KLH Ungkap Pelanggaran Serius PT Gag Nikel di Raja Ampat
PGI mencontohkan sejumlah wilayah yang menghadapi ancaman kerusakan akibat ekspansi industri. Di Raja Ampat, Papua Barat Daya, konsesi tambang nikel mengancam kelestarian kawasan konservasi laut dan situs warisan dunia UNESCO. Di daerah lain, seperti Morowali, Halmahera, Sangihe, Belitung, hingga Kepulauan Aru, aktivitas pertambangan dan pembukaan lahan skala besar terus berlangsung. Dan ini menimbulkan konflik sosial dan degradasi ekosistem.
“Kami menilai, pelaksanaan investasi di sektor ekstraktif selama ini tidak berpihak pada masyarakat lokal. Hak-hak masyarakat adat terabaikan. Bahkan, tidak sedikit yang kehilangan lahan, akses air bersih, dan mata pencaharian,” lanjut Darwin.
Baca Juga: Pemerintah Cabut Empat Izin Usaha Pertambangan di Raja Ampat, Hanya PT Gag yang Bertahan
PGI memandang bahwa investasi yang tidak mematuhi prinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis akan berujung pada krisis multidimensi—lingkungan, sosial, ekonomi, dan spiritual. Oleh karena itu, PGI mendesak pemerintah untuk meninjau ulang seluruh perizinan industri yang beroperasi di kawasan ekologi sensitif, termasuk moratorium terhadap izin baru di wilayah hutan primer, daerah tangkapan air, dan wilayah adat.
Pencabutan Izin Tidak Cukup
PGI mengapresiasi langkah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) di Raja Ampat. Namun, PGI menilai langkah tersebut belum cukup. Pemerintah harus mengaudit menyeluruh atas seluruh izin tambang yang telah diberikan. Termasuk mengevaluasi ulang dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan memperketat pengawasan pelaksanaannya.
“Pemerintah tidak boleh berhenti pada pencabutan izin simbolis. Evaluasi harus menyeluruh dan transparan. Jika temukan pelanggaran, izinnya harus dicabut, dan lahan direhabilitasi,” tegas Darwin.
PGI juga menyoroti pentingnya penerapan prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent) dalam seluruh aktivitas investasi. Masyarakat lokal, terutama masyarakat adat, harus terlibat secara bermakna dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Tanpa itu, investasi hanya akan menjadi alat penindasan terhadap kelompok rentan.
Tanggung Jawab Ekologis
Sebagai lembaga keagamaan, PGI menegaskan bahwa gereja memiliki peran penting dalam menjaga keutuhan ciptaan. Gereja dipanggil tidak hanya untuk menyelamatkan jiwa manusia, tetapi juga memelihara bumi sebagai rumah bersama. Dalam konteks ini, PGI menyerukan spiritualitas keugaharian sebagai bentuk perlawanan terhadap keserakahan dan eksploitasi.
“Teologi antroposentris yang menempatkan manusia sebagai penguasa atas alam harus ditinggalkan. Gereja harus menjadi suara kenabian yang menyuarakan keadilan ekologis,” ujar Darwin.
Menurut PGI, manusia adalah bagian dari ciptaan dan terpanggil sebagai penatalayan (steward) alam semesta. Konsep ini juga selaras dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat adat Indonesia yang selama ini hidup dalam harmoni dengan alam.
Dalam pernyataannya, PGI mengajak seluruh umat Kristiani, pemimpin agama, akademisi, dan pegiat lingkungan untuk bersatu. Yakni memperjuangkan keadilan ekologis dan mendorong transformasi pola pembangunan yang lebih berkelanjutan.
“Kita tidak bisa lagi menunda. Bumi sedang terluka, dan tugas kita bersama untuk memulihkannya. Keberpihakan kepada alam adalah bentuk keberpihakan pada kehidupan,” pungkas Darwin.