Jakarta (Lampost.co) — Reformasi Polri kembali menjadi sorotan publik. Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Achmad Munjid, menegaskan pembenahan rekrutmen Polri wajib masuk agenda utama Komite Reformasi Kepolisian (KRK) bentukan Presiden Prabowo Subianto.
Poin Penting:
-
Reformasi Polri harus substansial, bukan formalitas.
-
Polri tidak boleh terlibat dalam politik atau bisnis.
-
Kepercayaan publik sulit pulih tanpa perubahan mendasar.
Menurutnya, langkah Presiden membentuk KRK patut mendapat apresiasi. Namun, Munjid menekankan reformasi Polri tidak boleh berhenti di tataran formalitas. Perubahan harus menyentuh budaya kelembagaan, sistem rekrutmen Polri, tata kelola organisasi, hingga pendidikan kepolisian.
Reformasi Polri Harus Substansial
“Reformasi Polri tidak boleh sekadar program permukaan. Harus ada perbaikan substansial agar kepolisian benar-benar profesional,” ujar Munjid, Senin, 29 September 2025.
Baca juga: Reformasi Polri dengan Gerakan Moral lewat Tribrata dan Caturprasetya
Ia menilai ada lima hal mendasar yang wajib dalam reformasi Polri, yakni model pendidikan Polri yang modern dan berorientasi pada hak asasi manusia, pemahaman HAM agar polisi tidak lagi mengedepankan kekerasan sebagai pilihan utama, dan meritokrasi dalam rekrutmen Polri, bukan kolusi atau nepotisme.
Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh proses kelembagaan dan pengawasan independen untuk memastikan kinerja Polri sesuai standar profesional.
Rekrutmen Masih Dibayangi Praktik Kolusi
Munjid menyoroti proses rekrutmen Polri yang hingga kini masih sering terjadi praktik kolusi dan nepotisme. Ia menilai jika sejak awal masuk Polri seseorang harus membayar sejumlah uang, hal itu akan berdampak buruk pada integritas saat bertugas.
“Kalau masuknya saja sudah dengan uang, wajar jika kelak mereka mencari cara untuk mengembalikan modal,” ujar Munjid.
Profesionalitas Polri Terancam Politik dan Bisnis
Dia juga menekankan Polri tidak boleh terjebak dalam kepentingan politik maupun bisnis. Keterlibatan polisi dalam urusan nonprofesional hanya akan merusak citra institusi dan menghambat reformasi.
“Kalau polisi mau profesional, mereka tidak boleh menjadi alat politik, apalagi alat bisnis,” ujarnya.
Paralel dengan Lembaga Hukum Lain
Munjid juga mengingatkan reformasi Polri tidak bisa berdiri sendiri. Perubahan harus berjalan paralel dengan reformasi kejaksaan, reformasi pengadilan, dan pembenahan sistem hukum nasional. Tanpa langkah serentak, agenda supremasi hukum hanya akan menjadi slogan tanpa makna.
“Citra dan kepercayaan publik terhadap Polri sedang berada di titik terendah. Tanpa reformasi menyeluruh, sulit mengembalikan legitimasi publik,” katanya.
Manfaatkan Momentum Reformasi
Ia mendorong jajaran kepolisian, termasuk pimpinan dan pejabat utama, untuk melihat momentum tersebut sebagai kesempatan emas menjalankan tanggung jawab profesional secara bermartabat.
“Reformasi Polri adalah amanah besar. Kepolisian harus memanfaatkannya untuk membangun kepercayaan publik dan memperbaiki wajah hukum nasional,” kata Munjid.