Wandi Barboy
Wartawan Lampung Post
Dari Pramoedya Ananta Toer, saya mengenal kata “kronik.“ Semua bermula dari karya Pram, sapaan akrabnya, yang berjudul Kronik Revolusi Indonesia. Pram menyusun buku itu bersama adiknya Koesalah Soebagyo Toer dan Ediati Kamil. Adapun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring kemdikbud mendefinisikan kronik sebagai catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Begitulah.
Buku ini merupakan jilid kelima dari seri kronik tentang Revolusi Indonesia, 1945–49. Seri ini dirancang untuk meliput semua peristiwa yang menjadi berita pada lima tahun pertama Indonesia merdeka. Itu berarti tidak hanya mencakup peristiwa politik dan militer, tetapi juga ekonomi, hukum, pendidikan, sains dan teknologi, agama, dan lain-lain yang penamaannya biasa tersebut dengan istilah bidang cultural universals.
Seri kronik ini terdiri dari lima jilid, meliputi rentang waktu lima tahun, masing-masing dengan ketebalan paling sedikit 500 halaman. Sejarawan Onghokham pada sampul muka Kronik Revolusi Indonesia itu menuliskan, “Ini suatu pekerjaan yang maha hebat, memerlukan energi, usaha, biaya, dll .., yang hebat.”
Maka, ingatan saya terlempar saat saya merantau ke tanah kerajaan Mataram, Yogyakarta, belasan tahun silam, tepatnya pada awal 2008. Masa itu saya bersama kawan-kawan di Yogyakarta mengikuti jejak Pramoedya dalam hal menyusun kronik. Saya sempat menuliskan sekelumit cerita itu dengan judul Surat Imajiner Untuk Pram (Mengenang 5 Tahun Wafatnya Pramoedya Ananta Toer). Surat untuk Pramoedya Ananta Toer nun jauh di sana – negeri yang kau idamkan.
Isi Surat
Begini penggalan isi surat yang saya tulis kala itu.. Pram memang pengarsip yang tangguh dan gigih walau hanya seorang diri sekalipun. Mengapresiasi kegigihannya dalam mengarsip dan mengliping itu, sekelompok orang-orang muda berusia kurang lebih 25 tahun di Yogyakarta yang mengikuti jejak langkahnya dalam menyusun kronik ini. Momentum seabad kebangkitan nasional tiba dan anak-anak muda dari penerbit I:boekoe itu berniat menyusunnya mulai dari kurun 1908 sampai pada 20 Mei 2008. Sementara itu, Periode 1945-1949 sengaja tak mereka bikin sebagai penghargaan untuk Pram yang telah menyusun buku Kronik Revolusi Indonesia. Anak ruhani, katamu.
Sekira 40 penulis muda yang “tergembleng” dalam I:boekoe itu menyusun peristiwa penting dan renik–renik lainnya setiap hari dari koran, majalah, arsip, dan lain sebagainya dalam setahun. Mulai 1 Januari sampai 31 Desember. Satu orang sanggup merampungkan setahun kroniknya dalam rentangan waktu 2-3 bulan, bahkan ada yang hanya membutuhkan waktu sebulan! Karena target kian mendesak, terus ada penambahan. Kegigihan yang menjulang-julang dengan semangat membaja itu mereka pelajari darimu, Pram.
Maka, pada puncaknya -tepat pada seabad kebangkitan nasional- para penulis muda itu memandang hasil karyanya dengan berbinar-binar karena buku “gila-gilaan” itu akhirnya diluncurkan juga meski dengan berbagai kelemahan di sana-sini. Buku-buku itu jika ditumpukkan dari periode 1908-2008, dan dengan ketebalan buku rata-rata di atas 500 halaman, mencapai tinggi yang kira-kira mencapai 170 cm. Lahirlah anak ruhani yang bernama Kronik Kebangkitan Indonesia. Sejarawan Anhar Gonggong bahkan menyebut mereka ‘orang-orang gila’ karena hanya orang ‘gila’ yang bisa mengerjakan hal–hal yang ‘gila’. Begitulah, Pram.
Ya, segalanya demi menghikmati jalan sunyi yang kau tempuh. Para penulis muda itu turut bersamamu, Pram. Mereka meniru bagaimana berasketisme dalam laku kepenulisan sebagaimana engkau, Pram.