
“PEREKONOMIAN disusun sebagai usaha bersama berdasar atas Azas Kekeluargaan,” bunyi UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 yang dimaksud pasal tersebut adalah Koperasi“. Saat Bung Hatta berkunjung ke negara – negara skandinavia, khususnya Denmark pada akhir tahun 1930-an, Bung Hatta menyimpulkan bahwa koperasi adalah lembaga self-help lapisan masyarakat yang lemah atau kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Sytem gotong-royong dalam ekonomi koperasi butuh komitmen pengorbanan dari bawah, persamaan dan kesetaraan tidak lahir dari intruksi atas tapi kesadaran akar rumput.
Dengan kata lain, koperasi punya inti pendidikan ekonomi dengan konsep saling asah, asih dan asuh. Transfer pengetahuan ekonomi ke masyarakat banyak, kesadaran pergerakan yang terus membesar dan budaya iuran untuk memperbesar modal material. Koperasi di desa pada akhirnya kerja-kerja praktik gotong-royong dari modal sosial ke modal capital. Proses organik dari bawah inilah yang akhirnya membuktikan perjalanan koperasi adalah perjalanan pengetahuan masyarakat dalam menangkal invansi capital luar yang akan masuk ke desa.
Berebut dana desa yang tidak seberapa dan meninggalkan modal sosial yang akhirnya memiskinkan desa bukan hanya dari sisi material, tapi pemiskinan mental dan spiritual orang desa.
Sejak terbentuknya undang-undang desa, orang-orang di Jakarta selalu berpikir tentang hal-hal terkait administrasi, relasi ekonomi politik, birokrasi, menjual teknologi dan bahkan menjadikan desa sebagai ajang kemenangan elektoral menuju tangga kekuasaan. 10 tahun lebih undang-undang ini semakin menegasikan bahwa orang Jakarta punya kebenaran sendiri tentang kemajuan desa.
Desa sebagai ruang kebudayaan, komunitas masyarakat yang mandiri, kiblat modal sosial, konsep pergerakan sosial, sumber lokalitas namun kini Desa harus bisa keluar dari zona aslinya. Nilai-nilai gotong-royong, swadaya, rembug warga, jimpitan, atau dalam system senasib-sepenangungan mulai terbuang dengan mengenalkan kerja birokrasi yang pamrih.
Harus diakui ada kebaikan dana desa tapi juga perlu ada kesadaran tentang dana desa yang merusak pondasi gotong-royong. Esensi kerjasama (koperasi) dari budaya menjadi kinerja telah membawa spirit yang berbeda. Orang desa memandang gotong-royong adalah manifestasi kesadaran, panggilan kebudayaan dan praktik komunal. Kini telah berubah menjadi manusia upahan, kinerja yang harus ada laporannya dan akhirnya menimbulkan hirarki birokrasi.
Gotong-royong bukan proyek, tapi pengorbanan diri untuk semua. Orang-orang desa sejak dulu punya rasa handar beni (rasa memiliki). Namun yang terjadi kini, adanya dana desa semakin meruntuhkan pemahaman gotong-royong, dana desa semakin merobohkan modal sosial yang sejatinya tidak ternilai.
Tapi beban penyakit visi, misi, raker, roadmap, kinerja, administrasi dan segala parodi keruwetan administrasi menjadi orang desa belajar ruang birokratis yang procedural bahkan koruptif.
Pun dengan koperasi, yang tidak mungkin terbangun dari konsep top down. Koperasi dan gotong-royong adalah nafas panjang kebudayaan desa. Ketika suku-suku lokal punya lumpung padi dengan berbagai sebutan; leuit, gledheg, keben dan lainnya, sejatinya itu semua punya esensi nafas koperasi. Untuk menjaga ancaman kebutuhan masa depan lumbung padi berdiri, bahkan ada padi di kasepuhan ciptagelar dapat terjaga hingga 60 tahun lamanya.
Kalau kesadarannya hilang, kebersamannya hancur, kebudayaannya luntur, kata koperasi tinggal jargon manis sebagaimana orang-orang Jakarta bicara di seminar. Menubuhkan nilai-nilai lokal ini hanya orang desa yang bisa melakukan. Penyakit individual yang tertular dari orang-orang Jakarta ini obat penyembuhnya sudah tersedia oleh desa yaitu gotong-royong. Tapi beban penyakit visi, misi, raker, roadmap, kinerja, administrasi dan segala parodi keruwetan administrasi menjadi orang desa belajar ruang birokratis yang procedural bahkan koruptif.
Nilai-nilai orang desa bisa tumbuh kembali jika undang-undang desa dan orang-orang Jakarta bertobat untuk mengotori desa. Jika nilai gagal mewujud, sehebat apapun aturan dibuat, desa akan terus memanen banyak masalah. Modal sosial yang begitu banyak di desa akan terus defisit karena negara mengajarkan lebih dalam tentang penipuan, penggelapan, manipulasi, dan segala kalkulator kebohongan pembangunan desa. Berebut dana desa yang tidak seberapa dan meninggalkan modal sosial. Yang akhirnya memiskinkan desa bukan hanya dari sisi material, tapi pemiskinan mental dan spiritual orang desa.
Leadership Desa
Apa yang sedang terjadi di desa hari ini adalah gambaran tentang krisis kepemimpinan. Dana desa menjebak masyarakat menjadi sangat material minded. Semakin terkikisnya sikap kolektif masyarakat membuat desa semakin kehilangan energi komunalnya. Semakin birokratis sebuah masyarakat, maka akan muncul banyak hirarki yang membuat mereka kehilangan ruang setara. Hanya semangat kolektif yang mampu membuat tatanan desa masih ada hingga saat ini. Meskipun cerita tentang anggaran desa seolah dibesar-besarkan dan mengganggu modal sosial yang selama ini menjaga kelangsungan hidup di desa.
Desa masa depan adalah kepemimpinan yang dapat mengembalikan desa ke tatanan komunalnya. Kembali pada kualitas manusia desa, maka program-program dari kebijakan Jakarta tidak berakhir dengan kegagalan dan kegagalan. Desa harus memiliki ruang pengetahuan, ruang berembug yang setara menghidupkan lagi kepemimpinan lokal.
Pembangunan desa sejatinya tentang peningkatan kualitas manusia yang punya nyala pengetahuan, api pergerakan dan bara pengorbanan.
Memperbaiki kualitas manusia adalah proses mengembalikan leadership desa. Bahwa desa harus menemukan kembali kepemimpinan dengan basis legitimasi keteladanan bukan proses politik kepemimpinan hasil transaksional. Menghidupkan tradisi gotong-royong sama dengan menemukan pemimpin otentik yang dapat menggerakkan masyarakat desa. Dari sana sebenarnya pelajaran manajemen ekonomi, manajemen manusia, manajemen politik secara langsung kembali menjadi contoh-contoh inspiratif. Jadi ini bukan tentang pembangunan gedung, storage, ruang kantor koperasi, dan pembangunan fisik yang sangat dominan akan berakhir dengan mangkrak. Pembangunan desa sejatinya tentang peningkatan kualitas manusia yang punya nyala pengetahuan, api pergerakan dan bara pengorbanan.