Bandar Lampung (Lampost.co) – DPR RI menyatakan Pasal 222 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Itu termasuk ke dalam kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
Oleh karena itu, segala ketentuan yang berkaitan dengan Pasal 222 UU Pemilu. Menjadi kewenangan pembentuk undang-undang, yakni DPR, bukan Mahkamah Konstitusi.
“DPR RI berpendapat bahwa ketentuan a quo UU Pemilu telah memenuhi ketentuan persyaratan mengenai open legal policy.” kata Anggota Komisi III DPR RI Martin Tumbelaka selaku perwakilan DPR di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu, 30 Oktober 2024.
Kemudian syarat kebijakan hukum terbuka, jelas Martin. Itu adalah jika suatu norma tidak dirumuskan secara tegas pada UUD NRI Tahun 1945. Terdelegasikan untuk teratur lebih lanjut dalam undang-undang. Serta tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak tertahankan (intolerable).
Selanjutnya, DPR menilai, Pasal 222 UU Pemilu merupakan open legal policy. Karena Pasal 6A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 telah mengamanatkan pembentuk undang-undang. Untuk mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden.
Kemudian Pasal 222 UU Pemilu juga merupakan tindak lanjut Pasal 6A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Yakni pasal yang mengatur syarat untuk terlantik menjadi presiden dan wakil presiden. Menurut DPR, jika tidak ada presidential threshold, maka syarat yang diatur konstitusi akan sulit tercapai.
“Dapat terpastikan pemilihan presiden akan selalu terlaksanakan dalam dua putaran yang berimplikasi pada beban negara. Terutama berkenaan dengan sumber daya dan keuangan negara. Dengan demikian ketentuan pasal a quo telah memenuhi rasionalitas. Dalam penerapan open legal policy,” kata Martin.
Pandangan DPR
Selanjutnya penjelasan Martin tersebut merupakan pandangan DPR untuk Perkara Nomor. 62/PUU-XXII/2024, 87/PUU-XXII/2024, dan 101/PUU-XXII/2024. Ketiga perkara itu menguji konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pengusulan capres dan cawapres.
Perkara Nomor. 62/PUU-XXII/2024 terajukan oleh Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Seluruhnya merupakan mahasiswa. Dalam petitumnya, mereka meminta MK untuk menyatakan Pasal 222 UU Pemilu. Bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 terajukan oleh empat orang dosen. Yaitu Dian Fitri Sabrina, Prof. Muhammad, S. Muchtadin Al Attas, dan Muhammad Saad. Keempat pemohon tersebut meminta agar Pasal 222 UU Pemilu terubah menjadi.: pasangan calon presiden dan wakil presiden terusung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Yang memenuhi persyaratan perolehan kursi DPR. Selama tidak melebihi persentase tertinggi partai politik pemenang pemilu.
Adapun, Perkara Nomor. 101/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Direktur Eksekutif Yayasan Jaringan Demokrasi dan. Pemilu Berintegritas (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay dan pegiat kepemiluan Titi Anggraini. Salah satu petitum Hadar Nafis dan Titi adalah. Meminta agar partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi DPR dapat ikut mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.