Jakarta (Lampost.co) – Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung memungkinkan terselenggaranya pengawasan oleh Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu). Namun, kerja-kerja Bawaslu itu bakal hilang jika sistem pilkada terubah menjadi tidak langsung alias lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
“Ketika bicara soal pengawasan, ketika pemilihan dilakukan oleh DPRD, siapa yang mengawasinya?.” kata Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono, Kamis, 19 Desember 2024.
Kemudian menurutnya, kerja-kerja pengawasan saat pilkada langsung menjadi sulit terlaksana jika nantinya kepala daerah terpilih lewat DPRD. Itu, sambung Arfianto, akan mengembalikan sistem pilkada ke ruang-ruang gelap yang tanpa pengawasan.
“Akan kembali lagi pemilihan pada balik pintu, pada akhirnya gelap-gelapan lagi. Lebih baik kan kayak sekarang, terbuka, terang benderang. Bawaslu sendiri dengan kewenangannya bisa mengawasi,” terangnya.
Kemudian penyelenggaraan pilkada lewat DPRD juga tak serta merta menjawab masalah biaya tinggi yang muncul saat pilkada tergelar secara langsung. Pasalnya, Arfianto berpendapat pilkada lewat DPRD tetap membuka ruang bagi praktik politik uang.
Selanjutnya, wacana untuk menjadikan penyelenggara pemilu sebagai badan ad hoc turut mendorong terwujudnya pilkada kembali terpilih lewat dewan. Padahal, dua wacana tersebut berpotensi memundurkan praktik demokrasi Tanah Air.
“Ini akan menjadi kemunduran dalam demokrasi elektoral dan prosedural kita. Dan pada akhirnya akan membuat demokrasi kita jadi lebih semu lagi,” pungkas Arfianto.