
Dul Gepuk menaruh koran di atas meja kayu tua di warung lontong Wak Labai. “Wak, sudah baca berita edaran Panglima Indopahet belum? Tentara diminta amankan kantor kejaksaan di seluruh daerah. Dari provinsi sampai kabupaten kota.”
Wak Labai menghela napas, meletakkan sendok dari piring lontong. “Sudah, Dul. Ramai betul. Telegram itu bikin netizen gempar. Ada yang bilang ini bagian dari transisi kekuasaan, dari yang lama ke yang baru. Bahkan ada yang bilang, ini sinyal ‘matahari kembar’.”
Dul Gepuk menimpali, “Ada juga yang khawatir ini simbol militer makin kuat. Supremasi sipil bisa terganggu. Kok urusan pengamanan jaksa sekarang sampai perlu tentara?”
Wak Labai mengangguk. “Pertanyaannya, apa kantor kejaksaan itu sudah masuk kategori objek vital nasional? Setahu saya, belum ada Keppres soal itu. Dan kalau belum, artinya menempatkan tentara di sana ya problematik. Harus ada dasar hukum. Bukan cuma telegram.”
Dul menyisip kopi hitamnya. “Benar, Wak. Memang ada yang bela tindakan Panglima. Katanya ini bentuk dukungan moral bagi kejaksaan, yang lagi buka kasus-kasus korupsi besar. Katanya bisa saja yang dihadapi kejaksaan itu bukan pelaku biasa, tapi kelompok oligarki atau kekuatan ekonomi besar. Jadi, tentara turun untuk jaga-jaga.”
Wak Labai tersenyum kecut. “Ya, argumen begitu memang terdengar heroik. Tapi sehebat apapun niat dan tujuannya, tetap harus sesuai aturan. Negara ini bukan panggung drama. Hukum kita tidak bisa ditabrak atas nama niat baik. Ada Undang-Undang, ada Keppres, ada prosedur.”
Dul menimpali cepat, “Setuju, Wak. Bahkan ada juga yang menyebut dasar hukumnya adalah MoU antara tentara dan kejaksaan. Tapi MoU itu cuma nota kesepahaman, bukan hukum yang bisa jadi rujukan pengerahan pasukan.”
Wak Labai mengangguk tegas. “MoU itu tidak boleh melampaui undang-undang. Kalau sampai tentara berjaga atas dasar MoU, lantas buat apa kita punya UU dan Keppres? Kalau semua bisa diselesaikan pakai MoU, besok-besok bisa saja kantor lain minta dikawal juga.”
Dul menunduk sejenak. “Yang kita khawatirkan, Wak, bukan hanya soal pelanggaran prosedur. Tapi juga preseden buruk. Kalau semua institusi penegakan hukum perlu ‘backup’ kekuatan bersenjata, maka di mana posisi sipil dalam republik ini? Bukankah dulu kita berjuang mati-matian agar tentara kembali ke barak, dan sipil memegang kendali pemerintahan?”
Wak Labai mengangguk pelan. “Betul, Dul. Kita tidak ingin kembali ke masa di mana militer jadi penentu semua kebijakan, apalagi yang menyangkut urusan hukum. Biarlah jaksa bekerja dengan perlindungan hukum, bukan dengan bayang-bayang laras panjang.”
Lagi pula, kata Wak Labai, kalau ancaman terhadap kejaksaan memang nyata, seharusnya ada langkah resmi dari negara, misalnya melalui rapat lintas lembaga atau penetapan objek vital melalui Keppres. Bukan malah ujug-ujug muncul telegram yang multitafsir dan justru menambah kecemasan di publik. “Publik jadi makin bingung, ini negara berjalan lewat konstitusi atau lewat kode morse?” gumamnya sinis.
Mereka sama-sama sepakat, bahwa masalah ini bukan sekadar soal telegram Panglima. Tapi lebih luas: tentang tata kelola kekuasaan, penghormatan pada aturan main, dan batas yang harus dijaga dalam negara demokrasi. Tidak boleh ada lembaga yang bertindak di luar batas, apalagi tanpa akuntabilitas yang jelas.
Obrolan sore itu ditutup dengan tawa getir. “Tapi kalau dipikir-pikir, Wak,” ujar Dul Gepuk, “kalau semua lembaga dikawal tentara, nanti bisa-bisa warung lontong Wak pun dianggap objek vital nasional!” Telegram Panglima
Wak Labai terkekeh. “Betul Dul, apalagi kalau warung lontongnya bisa buka kasus korupsi… ya minimal korupsi kuah lontong! Heheh…” n
Profil Penulis: Abdul Gafur
Abdul Gafur adalah jurnalis senior Lampung Post yang kini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi sekaligus penanggung jawab utama Lampung Post Group. Sejak 1 Juni 2023, ia dipercaya menggantikan Iskandar Zulkarnain untuk memimpin ekosistem media yang meliputi koran cetak Lampung Post, portal berita Lampost.co, Radio Sai 100 FM, Metro TV Lampung, serta platform media sosial Lampung Post Update.
Lahir di Tanjung Karang pada tahun 1981, perjalanan jurnalistik Gafur dimulai sejak masa kuliah di Universitas Lampung. Ia aktif di Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa (UKPM) Teknokra, dan pada periode kepengurusan 2004–2005, ia dipercaya menjabat sebagai Pemimpin Umum. Selama di Teknokra, pria yang akrab disapa Pun Agho ini menempuh berbagai pelatihan jurnalistik, mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga tingkat pengelola. Pengalaman inilah yang menjadi fondasi kuat dalam karier jurnalistiknya.
Langkah profesionalnya dimulai ketika ia bergabung dengan Harian Umum Lampung Post pada tahun 2009. Saat itu, Pemimpin Redaksi Djadjad Sudradjat membuka ruang rekrutmen bagi talenta muda dari berbagai organisasi pers kampus, termasuk UKPM Teknokra. Pun Agho menjadi salah satu yang terpilih melalui proses ini, dan memulai kiprahnya sebagai reporter magang di kompartemen Humaniora dan Pendidikan.
Sejak saat itu, ia menapaki jenjang karier dengan konsisten dan penuh dedikasi. Ia turut terlibat dalam transformasi digital media tertua di Lampung ini, termasuk peluncuran versi digital Lampung Post berbasis langganan (subscription/membership), penguatan platform Lampost.co, serta pengelolaan kanal media sosial dalam kerangka konvergensi media bersama tim IT dan redaksi.
Selain mengelola redaksi, Pun Agho juga dikenal aktif sebagai trainer dan pemateri dalam berbagai pelatihan jurnalistik serta kehumasan. Ia kerap diundang untuk mengisi kegiatan yang diselenggarakan oleh Lampung Post maupun oleh institusi eksternal, mulai dari kampus, instansi pemerintahan, hingga komunitas masyarakat. Aktivitas ini mencerminkan komitmennya untuk berbagi ilmu dan membangun ekosistem komunikasi publik yang profesional dan bertanggung jawab.
Tak hanya itu, kontribusinya dalam dunia literasi juga ditunjukkan melalui keterlibatannya dalam sejumlah penulisan buku, antara lain Secangkir Kopi Bumi Skala Berak, 50 Tokoh Inspiratif Universitas Lampung, Profil Buku Dewa, serta proyek literasi anak Reporter Cilik Lampung Post. n