BENCANA banjir yang melanda kawasan Panjang, Bandar Lampung, beberapa waktu lalu mengungkap masalah serius dalam pelaksanaan proyek infrastruktur energi di Indonesia. Dugaan kuat bahwa proyek pemasangan pipa gas milik PT Perusahaan Gas Negara (PGN) menyebabkan tersumbatnya saluran drainase, memperburuk banjir, dan menimbulkan korban jiwa, harus menjadi alarm keras bagi seluruh pihak, baik korporasi, pemerintah daerah, maupun pusat.
Banjir kali ini bukanlah banjir biasa. Tiga warga kehilangan nyawa akibat air yang meluap deras ke permukiman mereka. Infrastruktur publik rusak, lingkungan sekitar tercemar, dan trauma sosial kini menghantui masyarakat setempat. Semua ini terjadi di tengah pembangunan yang ironisnya bertujuan untuk membawa kemajuan melalui distribusi energi yang lebih luas.
Proyek pipa gas seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat, namun kelalaian dalam pengelolaan aliran drainase justru berubah menjadi bencana.
Pemasangan pipa tanpa memperhitungkan fungsi drainase menyebabkan air meluap dan membanjiri permukiman. Ini menunjukkan lemahnya kajian teknis di lapangan serta minimnya koordinasi antara pihak perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pekerjaan pemasangan pipa terbukti mengabaikan aspek fundamental dalam tata kelola lingkungan yaitu mempertahankan kelancaran drainase. Saluran air alami atau buatan yang terganggu akibat pemasangan pipa tanpa perbaikan dan rekayasa teknik yang memadai berakibat fatal. Air hujan yang seharusnya mengalir lancar ke laut atau sungai akhirnya tertahan dan meluap, membanjiri pemukiman padat penduduk.
Bencana ini juga menunjukkan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam setiap proyek infrastruktur besar. Warga sekitar bukan hanya objek pembangunan, tetapi subjek yang berhak mengetahui, mengawasi, dan berpartisipasi dalam menjaga keselamatan lingkungan mereka. Setiap izin proyek harus dipublikasikan secara terbuka, begitu pula rencana mitigasi dampaknya.
Tiga korban jiwa bukan sekadar angka. Setiap kehilangan ini adalah tragedi yang menuntut pertanggungjawaban.
PGN sebagai pihak yang memasang pipa wajib bertanggung jawab penuh, tidak hanya dalam bentuk permintaan maaf, tetapi juga melalui pemulihan, kompensasi layak bagi korban, serta revisi total terhadap instalasi infrastruktur mereka.
Sementara bagi pemerintah, baik Kota Bandar Lampung maupun Pemerintah Provinsi Lampung, harus instrospeksi diri. Di mana pengawasan terhadap proyek ini. Apakah izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) benar-benar maksimal pengawasan implementasinya di lapangan. Kejadian ini memperjelas bahwa pemerintah gagal melindungi warganya dari proyek pembangunan yang mengabaikan aspek keselamatan.
Sikap pemerintah seharusnya jelas dan tegas untuk melakukan audit menyeluruh terhadap proyek PGN di wilayah tersebut. Memberikan sanksi administrasi maupun pidana jika ditemukan kelalaian, serta memaksa PGN memperbaiki seluruh sistem drainase yang terdampak. Tidak cukup hanya reaktif setelah tragedi, pemerintah harus membangun sistem pengawasan proyek infrastruktur yang ketat, transparan, dan melibatkan warga.
Kasus di Panjang harus menjadi momentum untuk mengevaluasi seluruh proyek utilitas publik di Indonesia.
Sudah terlalu sering pembangunan fisik dilakukan tanpa menghitung serius dampak terhadap lingkungan sekitar. Drainase, jalur air, dan keselamatan warga bukan sekadar formalitas dalam dokumen izin, tetapi harus menjadi prioritas dalam pelaksanaan di lapangan.
Tragedi di Panjang harus menjadi pelajaran besar bagi semua daerah di Indonesia yang sedang atau akan mengembangkan proyek infrastruktur serupa. Pembangunan tidak boleh sekadar mengejar target investasi atau pertumbuhan ekonomi, melainkan harus bertumpu pada prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.