KASUS pengurangan takaran Minyakita yang baru-baru ini terungkap harus menjadi alarm bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk bertindak tegas. Minyak goreng kemasan subsidi yang seharusnya berisi 1 liter ternyata hanya terisi 750–800 mililiter. Ini bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi indikasi kecurangan yang merugikan masyarakat luas. Jika praktik ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin skema serupa terjadi pada komoditas lain yang juga mendapat subsidi dari negara.
Temuan ini pertama kali mencuat saat inspeksi mendadak (sidak) di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menemukan kemasan Minyakita yang tak sesuai takaran. Kementerian Perdagangan pun bergerak cepat dengan menarik produk Minyakita kemasan 1 liter yang volumenya kurang dari pasaran. Namun, langkah ini belum cukup.
Harus ada pengusutan lebih dalam untuk mengungkap apakah ada unsur kesengajaan dan siapa saja pihak yang terlibat dalam skema ini.
Dari segi hukum, perbuatan ini dapat menjadi tindak pidana perlindungan konsumen sebagaimana tertuangr dalam Undang-Undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan barang. Jika terbukti bersalah, pelaku usaha bisa mendapat sanksi pidana dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp2 miliar sebagaimana tercantum dalam Pasal 62 ayat (1) UU yang sama.
Selain itu, karena Minyakita merupakan barang yang mendapat intervensi pemerintah dalam harga dan distribusinya, ada potensi pelanggaran dalam Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 dan Pasal 3 UU tersebut mengatur bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dan merugikan keuangan negara.
Tindakan itu dapat dihukum minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup.
Fakta bahwa kecurangan ini terjadi di beberapa daerah dengan pola yang sama mengindikasikan adanya praktik terstruktur yang kemungkinan melibatkan lebih dari sekadar oknum di level produksi. Jika sistem pengawasan di Kementerian Perdagangan berjalan sebagaimana mestinya, maka kejadian ini seharusnya bisa terdeteksi lebih awal. Ketika masyarakat bisa menemukan ketidaksesuaian takaran di pasaran, bagaimana mungkin pengawas di rantai distribusi tidak mengetahuinya? Apakah ada unsur pembiaran?
Pemerintah dan aparat hukum harus bertindak cepat. Tidak cukup hanya menarik produk yang tidak sesuai takaran. Tetapi juga harus ada investigasi menyeluruh untuk memastikan tidak ada kejahatan sistematis yang dimainkan oleh produsen atau distributor tertentu.
Jika ditemukan ada kesengajaan untuk mendapatkan keuntungan berlebih dengan mengorbankan hak konsumen, pelaku harus diproses hukum.
Selain penegakan hukum, perbaikan sistem pengawasan juga menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Pemerintah harus memperkuat mekanisme pengawasan, baik dari sisi regulasi maupun pengawasan lapangan, agar kasus serupa tidak terulang. Jika Minyakita saja mereka bisa bermain seperti ini, bagaimana dengan komoditas bersubsidi lainnya?
Kasus ini adalah ujian bagi pemerintah dalam menegakkan prinsip keadilan bagi rakyat. Jangan sampai kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan subsidi justru semakin terkikis karena kelalaian pengawasan atau bahkan praktik culas segelintir pihak. Usut tuntas indikasi main kotor ini, tegakkan keadilan bagi rakyat!