KEBEBASAN pers adalah pilar penting demokrasi dan hak asasi manusia yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pers berperan sebagai penjaga nilai-nilai kebenaran, penyampai informasi kepada masyarakat, dan pengontrol kekuasaan agar tetap berada dalam koridor yang semestinya.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa perjuangan untuk mempertahankan kebebasan pers masih penuh dengan tantangan dan ancaman serius. Terbaru, penetapan tersangka Direktur Pemberitaan JakTV, Tian Bahtiar, dalam kasus yang disebut Kejaksaan Agung sebagai permufakatan jahat untuk merintangi pemeriksaan perkara korupsi crude palm oil (CPO), timah, dan impor gula.
Sebelumnya, pada 19 Maret 2025, Francisca Christy Rosana, jurnalis Tempo, menerima teror dalam bentuk kiriman kepala babi ke rumahnya. Tidak berhenti di situ, hanya berselang tiga hari, tepatnya 22 Maret, ia kembali menerima ancaman melalui pengiriman bangkai tikus.
Kasus kekerasan paling berat, yaitu dugaan pembunuhan atau femisida terhadap seorang jurnalis perempuan berinisial J, yang diduga dilakukan oleh anggota TNI Angkatan Laut.
Insiden mengerikan ini memperkuat kekhawatiran akan ancaman nyata terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya.
Beberapa pekan kemudian, pada 4 April 2025, seorang jurnalis berinisial SW ditemukan meninggal dunia di Hotel D’Paragon, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dalam kondisi yang masih diselidiki. Keesokan harinya, 5 April 2025, dilaporkan terjadi tindakan kekerasan fisik berupa pemukulan serta pengancaman terhadap sejumlah jurnalis oleh ajudan Kapolri saat peliputan di Semarang.
Insiden-insiden tersebut mencerminkan bentuk intimidasi sistematis terhadap profesi jurnalis, yang tidak hanya berdampak pada individu korban, tetapi juga terhadap seluruh ekosistem kerja jurnalistik di Indonesia. Maka, teror dan ancaman yang dialami jurnalis harus dilihat sebagai serangan terhadap kemerdekaan pers secara menyeluruh.
Publik meminta aparat kepolisian untuk menangani kasus-kasus tersebut secara serius, transparan, dan menyeluruh. Jika tidak ditindak tegas, ini bisa jadi preseden buruk.
Media di Indonesia akan berpikir ulang untuk mengungkap fakta penting karena risiko keselamatan. Demokrasi yang tegak pun bisa terancam.
Aturan yang ada sudah jelas mengatur. Pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 pasal 18 ayat 1, pasal 4 ayat 2 dan 3 tentang pers sudah mengaturnya. Pers berhak untuk mengakses, mengolah, dan menyampaikan informasi kepada publik tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun, demi menjaga transparansi dan kebebasan berekspresi. Selanjutnya, pada Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Publik mengapresiasi langkah hukum yang dilakukan polri dan TNI dalam mengusut kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis. Pada dasarnya kebebasan pers di negeri ini sudah sangat terbuka dan dijamin UU. Negara telah memberi ruang yang luas bagi pers untuk berekspresi. Jauh lebih luas dibandingkan pada masa lalu.
Maka, masyarakat saatnya mengambil bagian. Ini momentum untuk bukan lagi hanya menjadi penonton. Media sosial bisa menjadi instrumen terbaik untuk menyatakan sikap.
Menunjukkan bahwa publik tidak diam. Saatnya dukungan dilayangkan, solidaritas dituliskan, narasi yang melawan ketakutan disebarkan.
Sebab yang paling membahayakan adalah ketika serangan terhadap pers dianggap lumrah, ketika teror menjadi semacam rutinitas, itulah awal kemunduran. Maka, jangan sampai kehilangan rasa marah yang sehat, rasa peduli yang jujur, dan rasa ingin melawan ketidakadilan. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang tidak lagi terganggu oleh bau busuk karena terlalu sering mengirupnya.
Media adalah bagian dari keberanian itu. Maka marilah bersama-sama menjaga agar suara mereka tetap lantang, langkah mereka tetap tegak, dan cahaya mereka tidak padam.