REVISI Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) resmi disahkan dalam sidang paripurna DPR RI, meskipun proses pembahasannya menuai banyak kritik. Akademisi dan aktivis hak asasi manusia menyoroti bahwa revisi ini berpotensi mengaburkan semangat reformasi 1998 yang menegaskan pemisahan peran militer dari ranah sipil dan politik. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizky Argama, menegaskan bahwa RUU ini tidak hanya melangkahi prosedur legislasi tetapi juga mencederai prinsip konstitusi.
Proses legislasi yang mengiringi revisi ini penuh kejanggalan. Tanpa melalui pertimbangan Badan Legislasi (Baleg), RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2025, sebuah langkah yang bertentangan dengan prosedur standar. Lebih jauh, pembahasannya bahkan dimulai sebelum masuk ke tahap perencanaan resmi, yang melanggar UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Paling mencolok, draf RUU ini tidak pernah disebarluaskan secara resmi oleh DPR, menghilangkan kesempatan masyarakat untuk memberikan masukan yang bermakna.
Aktivis HAM, Wilson, bahkan menyebut pengesahan revisi ini sebagai simbol “demokrasi yang dibunuh.”
Legislasi yang dilakukan secara tertutup merupakan ancaman nyata bagi demokrasi. Proses pembuatan undang-undang harus dilakukan dengan transparansi dan partisipasi publik agar kebijakan yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kepentingan rakyat. RUU ini harus ditinjau ulang untuk memastikan tidak ada pasal yang melemahkan prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi Indonesia. Jika tidak, hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi pembentukan regulasi di masa mendatang.
Pembentukan undang-undang yang tertutup bukan sekadar pelanggaran prosedur, tetapi juga ancaman bagi akuntabilitas pemerintahan. Tanpa ruang diskusi terbuka, publik kehilangan hak untuk mengawasi kebijakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara. Ini merupakan kemunduran besar dari semangat reformasi yang sejak 1998 berupaya menempatkan TNI sebagai alat negara yang netral dan profesional. Keberadaan pasal-pasal yang berpotensi memperluas kewenangan TNI dalam ranah sipil dan politik dapat membuka celah bagi intervensi militer dalam pemerintahan yang seharusnya tetap dalam kendali sipil.
Jika revisi UU TNI ini dibiarkan berjalan tanpa koreksi, hal ini dapat memperkuat praktik militerisme yang seharusnya sudah ditinggalkan.
Pemerintah dan DPR bisa semakin leluasa mengesahkan aturan yang menguntungkan segelintir pihak tanpa kontrol publik. Demokrasi tidak bisa tumbuh dalam ruang yang gelap dan tertutup. Kepercayaan masyarakat terhadap DPR dan pemerintah pun semakin tergerus ketika kebijakan strategis dibuat tanpa keterbukaan. Wacana bahwa militer bisa kembali ke ranah sipil menimbulkan kekhawatiran bahwa reformasi di sektor pertahanan justru mengalami kemunduran. Ini bukan sekadar isu hukum, tetapi menyangkut arah demokrasi Indonesia ke depan.
Judicial review ke Mahkamah Konstitusi menjadi langkah yang harus segera diambil untuk mengkaji ulang revisi UU TNI secara hukum. Jika memang terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi melemahkan supremasi sipil, maka upaya hukum harus segera dilakukan. Di sisi lain, DPR dan pemerintah harus membuka ruang diskusi serta menjamin transparansi dalam setiap perumusan kebijakan strategis.
Tidak ada alasan bagi pembentukan undang-undang yang dilakukan secara diam-diam dan tertutup dari publik.
Ke depan, penguatan profesionalisme TNI harus berjalan dengan cara yang demokratis, tanpa melanggar prinsip reformasi yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade. Reformasi TNI yang telah berlangsung harus dipertahankan, bukan malah terhambat oleh regulasi yang membuka peluang keterlibatan militer dalam kehidupan sipil. Demokrasi hanya akan tetap hidup jika rakyatnya waspada dan bersuara. Saatnya menolak setiap upaya yang dapat mengembalikan militerisme dalam kehidupan sipil! Kontrol publik yang kuat menjadi benteng utama untuk menjaga jalannya demokrasi di Indonesia.