MEMASUKI bulan Ramadan dan menjelang Lebaran, kenaikan harga bahan pokok seakan menjadi “tradisi” tahunan yang tidak terhindarkan. Tahun ini, lonjakan harga kembali terjadi dan dirasakan merata pada berbagai komoditas.
Seperti minyak goreng, bawang merah, cabai merah, hingga telur ayam. Kondisi ini tentu saja menuai keluhan dari masyarakat yang merasa semakin tercekik oleh tingginya biaya hidup.
Di Bandar Lampung, fenomena ini telah berlangsung sejak awal Ramadan. Akibatnya warga mengeluhkan kenaikan harga yang kompak pada berbagai komoditas pokok, sehingga cukup membebani masyarakat.
Upaya stabilisasi harga mendesak dilakukan agar lonjakan tidak semakin menjadi-jadi menjelang Hari Raya Idulfitri.
Tidak hanya memberatkan pembeli, pedagangpun juga terdampak kenaikan harga yang telah berlangsung sejak sebelum.
Harga minyak goreng, misalnya, kini menyentuh Rp18-19 ribu per liter. Bawang putih dan bawang merah masing-masing melambung hingga Rp45 ribu dan Rp50 ribu per kilogram. Tak hanya itu, cabai merah caplak yang kini mencapai Rp86 ribu per kilogram juga menjadi momok bagi para pembeli.
Sayangnya, kenaikan harga sejumlah bahan pokok ini belum menjadi perhatian maupun atensi khusus dari pemerintah. Dalam sebuah kesempatan Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa harga sembako masih terkendali.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meringankan beban masyarakat, terutama yang hendak mudik.
Pernyataan ini mendapat perhatian publik, mengingat kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahkan menegaskan bahwa harga beras dan minyak goreng tidak boleh naik karena produksi melimpah. Namun, fakta di pasar justru menunjukkan adanya lonjakan harga minyak goreng.
Lonjakan harga bahan pokok pada periode Ramadan dan Lebaran bukanlah fenomena baru di Indonesia. Penyebabnya bisa dilacak dari beberapa faktor, seperti meningkatnya permintaan, spekulasi harga, serta distribusi yang tidak optimal.
Meskipun pemerintah terus berusaha menstabilkan harga melalui berbagai kebijakan dan operasi pasar, kenyataan di lapangan menunjukkan hasil yang masih jauh dari harapan.
Pada dasarnya, harga bahan pokok di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rantai pasokan yang panjang dan kerentanan terhadap perubahan permintaan. Ketika permintaan melonjak, seperti pada Ramadan dan Lebaran, para spekulan cenderung mengambil keuntungan dengan menaikkan harga, sementara distribusi menjadi terhambat karena tingginya volume kebutuhan.
Sikap pemerintah yang menyatakan harga masih terkendali juga perlu pengkajian ulang. Pada kenyataannya, banyak komoditas yang justru mengalami lonjakan tajam. Ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara kebijakan di pusat dan implementasinya di daerah.
Stabilisasi harga tidak cukup hanya dengan pernyataan atau wacana, tetapi perlu adanya tindakan konkret dalam pengawasan distribusi dan penindakan terhadap oknum yang bermain harga.
Selain itu, perlu adanya di versifikasi sumber pangan agar tidak terjadi ketergantungan pada satu jenis komoditas. Misalnya, ketika harga cabai melonjak, masyarakat bisa mengarahkan pada penggunaan bumbu alternatif. Edukasi terhadap pola konsumsi juga perlu memperkuat agar masyarakat lebih bijak dalam menghadapi lonjakan harga.