FENOMENA matahari kembar pada kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menjadi diskursus politik yang menarik. Istilah ini merujuk pada situasi ketika dua tokoh dengan pengaruh besar berada dalam satu sistem pemerintahan, berpotensi menciptakan tarik-menarik kekuasaan. kabinet
Dalam konteks ini, “matahari” yang pertama tentu saja adalah Prabowo Subianto sebagai presiden periode 2024-2029. Sementara “matahari” kedua mengacu pada Joko Widodo, presiden periode 2014-2019 dan 2019-2024 yang tetap memiliki pengaruh kuat di pemerintahan. Apalagi melalui figur putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai wakil presiden menjadi estafet dinasti politik.
Fenomena ini bukan sekadar persoalan simbolik. Keberadaan dua kutub kekuasaan dalam satu pemerintahan bisa melahirkan dinamika yang kompleks. Apalagi sejumlah menteri Kabinet Merah Putih menyambangi rumah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) di Solo, Jawa Tengah (Jateng) selepas Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah.
Sowan tersebut ketika Presiden Prabowo Subianto sedang melakukan kunjungan ke Timur Tengah dan Turki.
Beberapa menteri Prabowo berkunjung ke rumah Presiden ke-7 Jokowi di Solo. Mereka yakni Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin; Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono; Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia dan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Wihaji
Isu beredar beberapa menteri yang sowan ke Jokowi juga menyebut Presiden ke-7 RI itu dengan sebutan “bos” mereka. Maklum, mereka yang berkunjung juga pernah menjadi pembantu presiden Joko Widodo pada periode sebelumnya. Ditambah lagi masalah komunikasi yang buruk dalam pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi sorotan berbagai pihak.
Seakan menerima “alarm politik”, Presiden Prabowo langsung memanggil jajaran menteri-menteri Kabinet Merah Putih untuk merapatkan barisan di Istana.
Sebab isu matahari kembar bisa menjadi bayang-bayang yang akan mengganggu jalannya pemerintahan ke depan, terutama terkait loyalitas dari para pembantu Presiden.
Dalam sejarah politik Indonesia, fenomena seperti ini bukan hal baru. Era Soekarno dan Hatta pun pernah diwarnai ketegangan karena perbedaan visi. Begitu pula masa SBY-JK, yang meski dimulai dengan sinergi, berakhir dengan friksi. Maka, bagaimana Prabowo dan Gibran mengelola potensi “matahari kembar” ini akan menentukan stabilitas politik ke depan.
Kemudian yang perlu diwaspadai adalah manuver politik para elite di belakang layar. Konflik bukan selalu terjadi di permukaan, melainkan bisa bermula dari pengaruh kelompok yang merasa lebih berhak atas kursi kekuasaan tertentu. Di sinilah pentingnya komunikasi politik yang terbuka dan komitmen terhadap kesatuan visi.
Akhirnya, publik berharap agar pemerintahan Prabowo-Gibran tidak terjebak dalam dualisme kepemimpinan. Rakyat tidak peduli siapa yang lebih kuat atau lebih populer. Yang diinginkan adalah kepemimpinan yang solutif, stabil, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat.n