SIDANG terbaru dugaan korupsi impor gula yang melibatkan Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, menghadirkan fakta mengejutkan.
Empat saksi yang dihadirkan dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat itu memberikan keterangan terkait perizinan dan seluk beluk impor gula dengan fakta yang bertolak belakang dengan dakwaan jaksa. Bahkan, Tom Lembong menyatakan kelegaannya karena kebenaran semakin terungkap di dalam sidang.
Tudingan Kejaksaan bahwa izin impor gula diberikan Tom Lembong di saat Indonesia surplus gula, terjawab oleh saksi dan data-data yang dipaparkan. Tudingan itu terbantah dengan keterangan sejumlah saksi yang telah hadir di persidangan yang menyebut pada 2015-2016 tidak ada surplus gula.
Bahkan hal itu tercantum secara resmi dalam risalah Rapat Koordinasi Menteri Perekonomian di akhir 2019.
Semakin terang ngawurnya sangkaan atau dakwaan yang ditudingkan pihak kejaksaan ke Tom Lembong ini. Hal ini menggugah pertanyaan besar tentang ketepatan dakwaan yang diajukan oleh kejaksaan.
Kemudian, dakwaan jaksa soal mengarahkan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk bekerja sama dengan distributor terbantahkan juga dengan keterangan saksi dalam sidang. Bahwa tidak ada aturan yang melarang PT PPI bekerja sama dengan distributor demi optimalisasi pendistribusian gula.
Dalam persidangan saksi menerangkan tidak ada larangan BUMN bekerja sama dengan industri gula swasta untuk mengolah gula mentah.
Lebih jauh, anggapan bahwa impor gula merugikan petani ternyata tidak terbantahkan dalam persidangan. Dampak negatif terhadap petani tetap menjadi perhatian serius yang perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan yang lebih berpihak pada keberlanjutan industri gula nasional. Namun, hal ini tidak serta-merta membuktikan adanya tindak pidana dalam kebijakan impor yang telah terjadi. Di sinilah pentingnya pemisahan antara kebijakan ekonomi dan tindakan kriminal. Agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap kebijakan yang sejatinya bertujuan untuk menjaga stabilitas pasokan pangan nasional.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya profesionalisme dan ketelitian aparat penegak hukum dalam merumuskan dakwaan. Jika dakwaan ternyata memiliki kelemahan mendasar, maka muncul potensi persepsi publik bahwa kasus ini lebih bermuatan politis ketimbang murni penegakan hukum.
Ketidakcermatan dalam proses hukum akan menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi kejaksaan, yang pada gilirannya dapat melemahkan kredibilitas sistem hukum secara keseluruhan.
Dalam sistem hukum yang sehat, setiap dakwaan harus berdasar pada fakta dan bukti yang kuat, bukan sekadar asumsi atau tekanan dari pihak tertentu. Oleh karena itu, kejaksaan perlu lebih berhati-hati dalam mengajukan kasus seperti ini. Jika memang terdapat pelanggaran, maka harus terbukti secara transparan dan akurat. Namun, jika dakwaan tidak mempunyai dukungan bukti yang cukup, maka langkah terbaik adalah mengevaluasi ulang kasus ini. Demi menjaga kredibilitas hukum di Indonesia.
Pembenahan sistem perdagangan dan regulasi impor harus menjadi prioritas utama. Ketimbang terjebak dalam perdebatan hukum yang berkepanjangan, pemerintah harus mengambil langkah nyata. Yakni untuk memastikan kebijakan perdagangan yang lebih adil dan tidak merugikan petani lokal.
Kejelasan aturan dan transparansi dalam pengambilan keputusan akan mencegah munculnya kasus serupa di masa depan.
Kita semua tentu berharap agar hukum tegak dengan adil, tanpa intervensi kepentingan politik. Proses hukum yang berjalan harus tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Juga memastikan bahwa setiap keputusan berdasarkan fakta yang sahih. Kejaksaan harus lebih cermat dalam mendakwa. Sehingga tidak membuka celah bagi publik untuk meragukan independensi lembaga penegak hukum di negeri ini.