PRESIDEN Prabowo Subianto mengumumkan “perang total” melawan korupsi saat meresmikan pembangunan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Istana Negara dan bukan omon-omon, Kamis (26/6). Pernyataan ini menegaskan sikap tegas orang nomor satu di republik bahwa korupsi—penyakit akut bagi Indonesia—harus dibasmi sampai ke akar-akarnya.
Sikap tegas ini layak mendapat sambutan positif. Pada era Presiden Joko Widodo, upaya pemberantasan korupsi sempat mencatatkan kemajuan pada periode pertama (2014–2019), di mana Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menunjukkan perbaikan. Namun, pada periode kedua (2019–2024), IPK stagnan di angka 34 (2022–2023), kembali ke level yang mengkhawatirkan.
Revisi Undang‑Undang KPK pada 2019 menjadi titik balik melemahnya komisi antikorupsi. Independensi KPK terkikis, kewenangan disunat, dan upaya pemberantasan korupsi jalan di tempat. Koruptor besar semakin percaya diri, sementara kepercayaan publik kian terkikis. Bahkan, kepercayaan publik terhadap lembaga antirasuah ini ikut terkikis.
Data ICW mencatat, jumlah kasus korupsi melonjak dari 271 pada 2019 menjadi 791 pada 2023. Potensi kerugian negara pun meroket: dari Rp 8,4 triliun (2019) menjadi Rp 42,7 triliun (2022). Sepuluh mega‑kasus korupsi terbesar di Indonesia kini menjerat puluhan hingga ratusan triliun rupiah per kasus—angka yang memprihatinkan.
Mengumumkan perang adalah langkah awal, tetapi publik menuntut strategi konkret. Pertama, pengetatan sanksi dan pemulihan aset: vonis lebih berat, pelacakan aset menyeluruh, dan restitusi kerugian negara sampai tuntas agar koruptor benar‑benar merasakan dampak hukuman. Perang ini harus berdampak pada pemulihan kerugian negara.
Kedua, penguatan independensi KPK dan Kejaksaan Agung: mengembalikan kewenangan KPK sesuai semangat reformasi. Terutama memperkuat penyidikan lembaga penegak hukum, dan meningkatkan kapasitas Polri dalam menangani kejahatan korporasi (white‑collar crime).
Kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum dalam memerangi korupsi harus dipulihkan.
Ketiga, transparansi anggaran dan sistem whistleblowing: memperluas perlindungan bagi pelapor korupsi. Kemudian mempublikasikan realisasi aset negara, dan menjadikan laporan publik sebagai alat kontrol sosial yang efektif. DIsinilah peran kepala negara untuk membangun budaya akuntable, dan transparan dari pusah hingga daerah. Dari level kementerian hingga desa.
Keempat, pengesahan RUU Perampasan Aset. Segera meratifikasi undang‑undang yang memungkinkan penyitaan aset hasil kejahatan korupsi. Yakni tanpa menunggu putusan pengadilan tinggi—langkah krusial untuk memutus rantai keuntungan koruptor. Ada pendapat, koruptor tidak takut mati namun mereka takut diri dan keluarganya miskin karena mereka adalah makhluk serakah.
Perang terhadap korupsi harus dijalankan tanpa pandang bulu dan menembus lingkaran kekuasaan. Kroni dan aktor di level tertinggi pemerintahan sering berada di garis depan godaan korupsi, sehingga penindakan mereka menjadi ujian sejati komitmen antikorupsi. Tanpa keberanian mengusut tuntas semua lapisan, janji bersih hanya akan menjadi ilusi.
Perang total yang dicanangkan Presiden Prabowo harus diikuti dengan keberanian menjadikan setiap kebijakan, reforma, dan penegakan hukum sebagai senjata ampuh membasmi korupsi. Hanya dengan demikian, janji “Indonesia bebas korupsi” bukan lagi slogan kosong. Atau juga omon-omon belaka, melainkan kenyataan yang dirasakan seluruh lapisan masyarakat.