Media digital kini menjadi panggung terbuka bagi masyarakat untuk menyaksikan berbagai perilaku para pejabat negara. Di tengah gencarnya kampanye efisiensi oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sejumlah oknum pejabat justru memamerkan gaya hidup mewah, flexing. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan kecaman publik, tetapi juga menunjukkan ironi di balik narasi penghematan anggaran negara.
Salah satunya, ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, yang videonya viral hingga menuai kontroversi. Video menayangkan Bahlil dan keluarganya saat turun dari jet pribadi berdurasi 30 detik saat momen Lebaran lalu.
Ia ke Solo dengan jet pribadi tipe Embraer Legacy 650 dengan tarif sewa mencapai Rp135 juta per jam.
Di tengah gelombang kritik terhadap Bahlil, Sekjen HIPMI Anggawira, tampil dengan pembelaan terhadap Ketua Umum Partai Golkar tersebut. Anggawira mengeklaim jet pribadi Bahlil tidak menggunakan uang negara, dan mengglorifikasi bahwa sang Menteri adalah sosok yang mampu secara finansial untuk membayar penerbangan super mahal itu. Karena itu, menurut Anggawira, Bahlil naik jet pribadi adalah hal yang wajar, tidak perlu dipersoalkan.
Sejak awal Bahlil menjabat, kekayaannya sangat fantastis mencapai Rp295 miliar berdasarkan Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada 2019. Kita sepakat bahwa Bahlil memang mampu secara keuangangan. Tapi, hal itu tidak boleh menjadi pembenaran atas flexing dan gaya hidup mewah pejabat negara. Apalagi saat ini Presiden Prabowo mengimbau penghematan dan efisiensi.
Larangan pamer kekayaan bagi pejabat sebenarnya bukan hal baru.
Surat Edaran Menpan RB No. 02 Tahun 2023 tentang Etika dan Disiplin ASN, yang menekankan larangan memamerkan harta kekayaan secara berlebihan, termasuk di media sosial. Jaksa Agung juga melarang keras flexing yang bisa menggerus kepercayaan publik terhadap aparat negara. Pamer juga hanya akan memperbesar jarak sosial antara pejabat dan masyarakat.
Patut dipahami, flexing bukan hanya soal estetika atau kebiasaan pribadi. Ini soal kepekaan dan integritas. Ketika masyarakat diminta untuk berhemat, membayar pajak lebih disiplin, dan bersabar dengan kenaikan harga, pejabat justru mempertontonkan kekayaan yang sering kali tidak jelas sumbernya.
Para pejabat negara, harus punya kepekaan sosial dan empati
Kebijakan efisiensi bakal sia-sia jika tidak diikuti keteladanan moral dari para pejabat.
Ketika presiden bicara efisiensi tapi menterinya menumpang jet pribadi, maka publik akan bingung, siapa yang sebenarnya harus memberi contoh?
Presiden sebaiknya merumuskan secara perinci tentang flexing sebagai pelanggaran atas kode etik para pejabat. Kemudian, rumuskan sanksi tegas bagi pejabat yang melanggar etika flexing, apalagi jika yang bersangkutan minim prestasi dan integritas.
Ketika negara tengah bekerja keras melakukan efisiensi, sudah seharusnya para pejabat menjadi garda terdepan dalam memberi teladan. Slogan efisiensi hanya jadi wacana kosong, tertutup gemuruh suara jet pribadi yang melintasi langit penuh ketimpangan.
`