
Jurnalis Lampung Post
Dul Gepuk mengernyitkan dahi usai membaca artikel bertajuk Liga Koruspi Indopahet. Ia menatap layar ponselnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kopinya yang sudah mulai dingin diletakkan begitu saja di atas meja.
“Wak, ini kasus yang baru ini benar-benar bikin geleng kepala,” katanya dengan nada geram.
Wak Labai yang sedang asyik membolak-balik koran, menurunkan kacamatanya ke ujung hidung. “Apalagi sekarang, Dul? Kayaknya tiap hari ada saja berita bikin naik darah ya.”
Dul Gepuk menyodorkan ponselnya. “Mega korupsi di BUMN minyak, Wak. Jumlahnya nyaris seribu triliun! Warganet sampai bikin daftar, katanya ini masuk peringkat tertinggi dalam Liga Korupsi Indopahet!”
Wak Labai menatap layar, lalu mendesah panjang. “Sudah kuduga, Dul. Dari dulu urusan migas ini memang ladang empuk buat tikus-tikus berdasi. Tapi yang ini sudah di luar akal sehat. Satu BUMN saja bisa ‘menguapkan’ uang sebanyak itu.”
Dul Gepuk mengangguk cepat. “Ceritanya awalnya cuma soal oplos-mengoplos, Wak. Minyak dengan RON 90 katanya dioplos lagi supaya jadi RON 90. Ternyata… Alahmaaak…! Dugaan kasusnya lebih jahat lagi dan sangat terorganisir Wak.”
Wak Labai mendengus kesal. “Itulah yang bikin aku tambah jengkel, Dul. Pihak perusahaan berkilah ini bukan oplos-mengoplos, tapi namanya blending. Seolah-olah kalau istilahnya lebih keren, jadi bukan masalah besar!”
Dul Gepuk tertawa getir. “Apalah arti sebuah nama? Itu kata William Shakespeare di Romeo and Juliet, Wak. Mau disebut oplos atau blending, intinya tetap sama: ada akal-akalan. Dan ini bukan urusan kecil! Yang lebih celaka lagi, ini bukan sekadar oplosan minyak, tapi ada dugaan rekayasa kuota impor minyak mentah!”
Wak Labai membanting korannya ke meja. “Itu dia yang lebih biadab, Dul! Mereka sengaja merekayasa situasi seolah-olah bangsa ini kekurangan minyak mentah, lalu memaksa pemerintah buat impor dengan jumlah lebih besar dari kondisi rill. Dan seperti biasa, harga impornya dimarkup! Duit yang harusnya buat kesejahteraan rakyat malah masuk kantong segelintir orang.”
Dul Gepuk menghela napas panjang. “Makanya warganet bilang kasus ini pemuncak klasemen dalam Liga Korupsi Indopahet, Wak. Dari tahun ke tahun, selalu ada kasus kakap yang bikin kita makin pesimis sama pemberantasan korupsi.”
Wak Labai termenung, matanya menerawang ke kejauhan. “Dulu waktu aku masih jadi aktivis mahasiswa, Dul, aku ikut turun ke jalan buat melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kami berjuang habis-habisan supaya bangsa ini bersih dari maling berseragam pejabat.”
Dul Gepuk menatap sahabatnya itu dengan rasa iba. “Tapi, Wak, lihatlah sekarang. Korupsi malah makin menjadi-jadi. Dulu kita hanya dengar kasus belasan atau puluhan miliar, sekarang angkanya sudah tembus ratusan bahkan nyaris ribuan triliun. Reformasi yang kau perjuangkan dulu kayaknya cuma tinggal kenangan.”
Wak Labai tersenyum pahit. “Iya, Dul. Makin ke sini, bukannya berkurang, malah makin menggila. Aku kadang bertanya-tanya, apakah yang kami perjuangkan dulu benar-benar membuahkan hasil, atau justru membuka jalan bagi generasi baru koruptor yang lebih rakus?”
Dul Gepuk menepuk bahu sahabatnya. “Jangan menyerah, Wak. Kita masih bisa bersuara. Setidaknya, kita masih bisa mengingatkan bahwa rakyat tidak sebodoh yang mereka kira. Kalau begini terus reformasi jilid II bisa saja terjadi. Sudah ekonomi tambah sulit, maling maling urang rakyat seolah berlomba cetak rekor korupsi!”
Wak Labai menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Semoga saja, Dul. Tapi selama Liga Korupsi ini masih berjalan tanpa sanksi tegas dan keras, aku pesimis juara bertahannya bakal lengser, atau malah muncul juara juara baru klasemen liga korupsi.” n