Jakarta (Lampost.co)–Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menilai pembatalan mutasi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dari jabatan Pangkogabwilhan I terindikasi kuat motif politik dalam tubuh TNI. Sebab, hanya sehari setelah surat keputusan terbit lalu terbatalkan. Hal ini terkait pencabutan KEP 554/IV/2025 oleh Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, yang sebelumnya mengatur mutasi tujuh perwira tinggi.
“Ini makin menegaskan spekulasi bahwa mutasi berkaitan dengan dan dorongan motif politik,” kata Hendardi dalam keterangannya pada Sabtu, 3 Mei 2025.
Surat keputusan mutasi dengan nomor KEP 554/IV/2025 pada 29 April 2025, yang salah satunya menyebut nama Letjen Kunto Arief, putra dari Wakil Presiden ke-6 RI sekaligus eks Panglima ABRI, Try Sutrisno. Namun hanya berselang satu hari, Jenderal Agus kembali mengeluarkan KEP 554.a/IV/2025, yang secara resmi membatalkan keputusan sebelumnya.
Baca Juga: Mutasi Batal, Letjen Kunto Arief dan Enam Pati TNI Kembali ke Jabatan Semula
Pembatalan mutasi tersebut ganjil, apalagi Letjen Kunto Arief baru menjabat selama empat bulan sebagai Pangkogabwilhan I, dan sebelumnya menjabat sebagai Pangdam Siliwangi.
Menurut Hendardi, mutasi yang begitu cepat dan tidak lazim ini mencuat di tengah polemik politik. Salah satunya ketika Forum Purnawirawan Prajurit TNI mendesak agar Gibran Rakabuming Raka dicopot dari jabatan Wakil Presiden. Ayah Letjen Kunto, Try Sutrisno, turut menjadi salah satu penandatangan dalam pernyataan forum tersebut.
Meski Markas Besar TNI menyatakan bahwa mutasi adalah bagian dari pembinaan karier dan kebutuhan organisasi, Hendardi menyebut publik semakin sulit percaya terhadap penjelasan resmi.
“Mutasi dan pembatalannya tersebut patut dugaannya tidak melibatkan kerja profesional Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti),” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa TNI tidak boleh menjadi alat politik kekuasaan dan harus tetap berdiri sebagai instrumen negara yang netral. Dan menjalankan fungsinya dalam menjaga kedaulatan dan keselamatan bangsa.
“Pembatalan mutasi dalam sehari itu pasti menggerus kepercayaan publik akibat dugaan muatan politis dan tak melibatkan Wanjakti,” ujar Hendardi.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa keputusan semacam ini tidak hanya mencoreng profesionalitas institusi militer. Tetapi juga dapat menciptakan preseden buruk dalam tata kelola kepemimpinan TNI ke depan.