Bandar Lampung (Lampost.co) — Era digital memicu layanan jasa keuangan berbasis teknologi semakin populer. Perkembangan itu menciptakan inovasi praktis bagi banyak orang yang membutuhkan dana cepat dengan proses lebih mudah dan tidak memerlukan jaminan. Terobosan tersebut dihadirkan pinjaman online (pinjol) sebagai solusi finansial masyarakat.
Layanan pinjol terutama dinikmati anak muda yang erat berinteraksi dengan teknologi. Namun, kalangan anak muda tersebut kerap memanfaatkannya sekadar untuk kebutuhan konsumtif, seperti membeli gawai, fashion, hingga liburan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kelompok yang paling banyak memanfaatkan layanan jasa keuangan tersebut berada di rentang usia 26-35 tahun hingga 43,9%. Kemudian, 26,5% pengguna berasal dari usia 18-25 tahun dan usia 36-45 tahun 21,3%. Sementara pengguna berusia 46-55 tahun tercatat 7,3% dan hanya 1,1% pengguna berusia di atas 55 tahun.
Penggunaan pinjol pun didominasi untuk kebutuhan gaya hidup dengan berbelanja fesyen hingga 66,4%. Selain itu, barang-barang seperti perlengkapan rumah tangga 52,2%, elektronik 41%, dan laptop atau ponsel 34,5%, serta perawatan tubuh 32,9%.
Tren itu terlihat dari meningkatnya jumlah utang melalui pinjol atau peer-to-peer lending (P2P lending) yang hingga Agustus 2024 mencapai Rp72,03 triliun. Nilai itu meningkat signifikan dari tahun sebelumnya. Namun, rasio kredit macet (non performing loan/NPL) pinjol masih terjaga pada level 2,38%. Angka itu menunjukkan sedikit perbaikan daripada Juli 2024 dengan rasio NPL 2,58%.
Perilaku tersebut seiring perkembangan teknologi yang memudahkan generasi muda untuk mendapatkan pinjaman. Namun, penggunaannya untuk membeli barang-barang yang tidak produktif. Perilaku itu membuat generasi muda rentan terjebak dalam lingkaran utang yang sulit diatasi dan bisa berdampak negatif pada stabilitas keuangan pribadi di masa depan.
Apalagi, kalangan anak muda tersebut terbilang memiliki literasi keuangan yang rendah. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 OJK dan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan tingkat literasi dan inklusi keuangan generasi Z (Gen Z) menjadi yang terendah dari kelompok usia lainnya.
Literasi keuangan 2023 secara nasional mencapai 64,43 persen dengan tingkat inklusi menyentuh 75,02 persen. Persentase itu terbagi ke dalam kelompok umur dari 15 hingga 79 tahun. Hasilnya, usia 15-17 tahun yang saat ini berstatus pelajar dan mahasiswa sebagai kelompok dengan literasi keuangan terendah, yaitu 51,7 persen dengan inklusi 51,96 persen.
Seorang mahasiswa salah satu universitas negeri di Lampung, Ardi, mengaku kerap menggunakan layanan pinjol dan marak dimanfaatkan anak muda saat ini, termasuk teman-temannya. Kalangan tersebut kerap berutang untuk memenuhi kebutuhan mendesak di tengah kondisi sedang tidak memiliki uang.
“Memudahkan untuk memenuhi kebutuhan yang urgent di tengah kondisi kantong memang sedang tidak ada uang. Itu bisa membantu untuk membeli yang saya sedang mau dan membantu daya jual UMKM,” kata pria 18 tahun itu, Senin, 11 November 2024.
Namun, penggunaan pinjol tersebut memiliki risiko terkena denda karena belum melunasi utang saat tanggal jatuh tempo. Hal itu pun membuat skor kredit dalam sistem layanan informasi keuangan (SLIK) menjadi rendah. “Apalagi bunga di pinjol lebih besar. Makanya, kalau tidak pandai mengatur pemasukan dan pengeluaran akan jadi berisiko untuk kehidupan,” kata dia.
Penggunaan Produktif dan Tingkatkan Perlindungan Data
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Lampung, Otto Fitriandy, mengakui bunga dari pembiayaan di pinjol lebih tinggi. Sebab, pemberi pinjaman tidak tahu orang dan rumah yang meminjam sehingga risiko dalam pemberian kredit lebih besar. Namun, dia menjelaskan sisi yang lebih berbahaya dari kehadiran pinjol bukanlah bunga, tetapi terjerat penggunaan layanan yang ilegal.
Pinjol ilegal itu kerap ditawarkan melalui pesan SMS atau whatsapp (WA). Terlebih, pesan tersebut memiliki tautan yang dapat mengakses berbagai fitur di ponsel. Sebab, berdasarkan ketentuan OJK pinjol legal dilarang melakukan SMS atau WA dan mengakses hingga ke galeri dan kontak.
Hal itu yang membuat pinjol ilegal dapat menyebarluaskan riwayat kredit ke kontak di ponsel borrower. “Pinjol legal hanya boleh mengakses kamera, microphone, dan lokasi,” ujar Otto, kepada Lampost.co.
Selain itu, penagihannya lebih cepat dari jangka waktu dan bunga kredit yang lebih tinggi dari ketentuan maksimal, yaitu 0,3% per hari. Persentase bunga itu akan turun menjadi 0,1% per hari pada 2026. Terlebih, aktivitas pinjol ilegal merupakan sindikat yang terus menawarkan dari pinjaman satu ke pinjaman lainnya.
“Itu yang membuat pinjaman dari Rp1 juta bisa membengkak hingga Rp40 juta. Tapi, ciri paling mudah yang bisa dikenali dari pinjol ilegal adalah tidak menyediakan saluran pengaduan dan kantornya tidak jelas,” ujarnya.
Namun, bagi masyarakat yang ingin langsung secara pasti mengetahui pinjaman online legal atau berizin dan yang tidak dapat mengeceknya di website OJK atau bertanya langsung via WA 081157157157.
Sementara itu, pihaknya juga melakukan pemberantasan bersama Satuan Tugas Pemberantas Aktivitas Keuangan Tanpa Izin (Satgas Pasti) di tengah maraknya peredaran pinjol ilegal itu. Tim tersebut melibatkan OJK, Bank Indonesia, kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Agama, Kemenkumham, dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Sinergitas itu diperlukan karena segala aktivitas penindakan berhubungan dengan kewenangan masing-masing institusi dan lembaga tersebut. Mulai dari pemblokiran situs pinjol yang merupakan kewenangan Komdigi dan kepolisian menindak usaha pinjol ilegal dan penagihan yang mengandung unsur kriminal. Sedangkan, OJK bertugas mengawasi perizinan layanan jasa keuangan tersebut.
Meski begitu, upaya pemberantasan paling utama adalah dengan meningkatkan literasi keuangan masyarakat agar memanfaatkan pinjol untuk kebutuhan produktif, seperti modal kerja. “Jangan untuk konsumtif, seperti beli HP atau motor, apalagi beli tiket konser. Itu yang menjadi masalah,” kata dia.
Termasuk, membenahi dan memperkuat pemahaman masyarakat dalam perlindungan data demi perlindungan konsumen pribadi. Sebab, kemajuan teknologi sering kali secara tidak langsung mendorong diri mempublikasikan identitas diri yang bersifat sensitif, seperti tanggal lahir dan nama gadis ibu kandung.
Untuk itu, pihaknya mengedukasi literasi keuangan masyarakat secara menyeluruh dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait, pemerintah daerah, mahasiswa, dan tokoh masyarakat.
Dia menyarankan masyarakat yang terlanjur terjebak menggunakan pinjol ilegal harus segera menghapus aplikasinya dan melapor ke polisi jika praktik penagihan menggunakan cara melawan hukum. Lalu blokir semua kontak penagihnya serta informasikan ke teman dan kerabat untuk mengabaikan jika ada yang menghubungi dari pinjol. “Selalu ubah juga kata sandi aplikasi keuangan secara berkala,” katanya.
Lebih Bijak
Senada, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan Konsumen (PEPK) OJK, Friderica Widyasari Dewi, mengatakan tren utang di kalangan anak muda harus menjadi perhatian serius.
Apalagi, tren generasi muda tersebut karena terjebak dalam fenomena fear of missing out (FOMO) dan you only live once (YOLO), dan doom spending, sebagai perilaku belanja impulsif. “Anak muda sekarang lebih takut ketinggalan zaman sehingga ikut-ikutan tren, tetapi menggunakan uang dari utang, bukan dari penghasilan sendiri,” kata Dewi, dalam tayangan YouTube OJK.
Dia mengingatkan tren memberikan penghargaan kepada diri sendiri dengan sering berbelanja dapat memperparah perilaku boros. Hal itu berbahaya terutama bagi generasi muda yang belum memiliki penghasilan tetap sehingga cenderung lebih rentan untuk berutang.
“Adanya pinjol yang sangat mudah dan cepat diakses untuk mendapatkan pinjaman demi membeli barang-barang sebenarnya tidak memberikan nilai tambah secara produktif,” ujar anggota Dewan Komisioner OJK tersebut.
Untuk itu, masyarakat juga harus lebih bijak dalam memilih pinjol yang aman. Sebab, terdapat banyak pinjaman online ilegal yang justru menjerat debitur dalam utang dengan bunga tinggi yang sulit dilunasi.
Menurut dia, memilih layanan dari perusahaan yang terdaftar di OJK menjadi aspek sangat penting agar terhindar dari risiko penipuan, beban utang yang tidak wajar, serta praktik penagihan yang tidak sesuai aturan.
Sementara, pinjol legal memberikan masyarakat jaminan lebih aman. Sebab, perusahaan-perusahaan itu beroperasi sesuai regulasi OJK, mulai dari pengaturan bunga, tata cara penagihan, hingga mekanisme penyelesaian sengketa.
Perusahaan pinjaman online legal juga memiliki profil risiko yang lebih terjaga, memberikan keamanan lebih bagi peminjam, serta transparansi dalam prosedur pembayaran. Hal itu berbeda dengan pinjol ilegal yang kerap memberikan suku bunga lebih tinggi serta proses penagihan yang menyalahi aturan, seperti intimidasi dan ancaman.
“Memastikan legalitas layanan pinjaman yang terdaftar di OJK menjadi langkah terpenting sebelum mengajukan pinjaman agar terhindar dari jebakan aktivitas keuangan ilegal,” katanya.