Jakarta (Lampost.co)— Pemerintah, melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), berusaha untuk menurunkan harga jual rumah dengan mengurangi beban pajak.
Termasuk menghapuskan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Menteri PKP, Maruarar Sirait, menyatakan pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri agar pajak BPHTB dari pemerintah daerah bisa menghapusnya untuk menurunkan harga rumah.
Maruarar juga mengungkapkan, efisiensi seperti penghapusan pajak dapat membuat pembagian tanah lebih mudah dan terjangkau. “Hal ini untuk mendukung program pembangunan 3 juta rumah bagi masyarakat, serta mendorong peningkatan omzet bagi pengembang,” ucapnya.
Ia optimis akan ada banyak perubahan signifikan pada tahun depan dalam sektor perumahan. Baik dari sisi bisnis maupun sosial, dan meminta para pengembang bersiap untuk itu.
Selain itu, ia mengajukan usulan agar insentif bebas Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) memperpanjang menjadi lima tahun. Guna mendukung keberhasilan program perumahan ini. Maruarar berencana membahas hal ini dengan Menteri Keuangan, Sri Mulyani.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, mendukung rencana penghapusan BPHTB khusus untuk hunian masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Ia jugadan menyatakan akan menyosialisasikan kebijakan ini kepada seluruh pemerintah daerah. Tito juga menambahkan pemerintah berencana untuk menghapus retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) untuk MBR dalam waktu dekat, dengan surat edaran akan segera diterbitkan dalam 10 hari.
Fasilitas Umum
Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menambahkan pihaknya akan meminta pengembang perumahan untuk menyediakan fasilitas umum dan sosial di proyek-proyek mereka, dan akan menerapkan sanksi berupa rumah gratis bagi MBR jika pengembang melanggar.
Direktur Utama BTN, Nixon LP Napitupulu, menyampaikan bahwa dengan adanya pembebasan PPN, pengurangan PPH, dan penghapusan BPHTB, harga jual rumah MBR dan MBT dapat turun hingga 21%. Penurunan ini harapanny dapat meningkatkan permintaan perumahan.
BTN sendiri telah menyalurkan 5,5 juta KPR subsidi dan non-subsidi sejak 1976, dan Nixon mencatat semakin banyak kaum milenial. Perempuan, dan pekerja sektor informal yang memanfaatkan KPR untuk membeli rumah pertama mereka.
Program perumahan subsidi sangat penting untuk pekerja informal, yang sebaliknya sulit memiliki rumah. Indonesia juga masih menghadapi backlog kepemilikan rumah sebanyak 9,9 juta unit, dengan lebih dari 50% masyarakat miskin tinggal di rumah yang tidak layak huni.
“BTN mengidentifikasi beberapa tantangan perumahan, termasuk data kebutuhan perumahan yang kurang akurat dan peraturan yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah,” kata Nixon.
Di sisi suplai, sinkronisasi perencanaan tata ruang juga masih belum optimal. Nixon menekankan bahwa sektor perumahan memiliki multiplier effect pada 185 subsektor lain yang sebagian besar padat karya.
Pembagunan perumahan secara besar-besaran juga dapat menciptakan lapangan kerja, di mana pembangunan 100.000 rumah dapat menyerap hingga 500.000 tenaga kerja setiap tahunnya.