Bandar Lampung (Lampost.co)— Rencana pemerintah melakukan pengetatan terhadap pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dinilai sudah tepat.
Pengamat ekonomi dari Universitas Lampung, Nairobi, menyatakan pengetatan pembelian BBM subsidi terjadi karena biaya impor BBM semakin tinggi,akibat menurunnya nilai rupiah.
Akibatnya, beban subsidi untuk BBM akan membebani APBN, oleh karena itu, subsidi harus tepat sasaran.
“Langkah pemerintah untuk memperketat penyaluran BBM subsidi ini sudah tepat jika kita lihat dari beban APBN yang akan semakin membengkak,” ujar Dekan FEB Unila itu, Rabu,10 Juli 2024.
Nairobi menjelaskan, agar penyaluran BBM subsidi tepat sasaran kemaka, pemerintah harus memperbaiki sistem penyaluran BBM untuk daerah.
Terutama di tingkat kabupaten dan daerah pedesaan perlu perbaikan, sehingga masyarakat pedesaan mendapatkan jumlah yang cukup dengan harga yang sama dengan daerah perkotaan.
“Agar BBM tepat sasaran, maka pemerintah harus memperbaiki sistem penyalurannya,” ujarnya.
Sebelumnya,Pemerintah akan mulai mengetatkan pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi pada 17 Agustus 2024. Tujuannya, agar jumlah penyaluran subsidi benar tersalurkan kepada orang yang berhak.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pihak Pertamina sebagai penyalur BBM tersebut tengah mempersiapkannya.
“Itu sekarang Pertamina sudah menyiapkan. Kami berharap 17 Agustus ini, kami sudah bisa mulai, di mana orang yang tidak berhak dapat subsidi itu akan bisa kami kurangi,” ujar Luhut melalui akun instagram resminya, luhut, Rabu, 10 Juli 2024.
Ia menjelaskan, melalui pengetatan penerima subsidi, pemerintah akan dapat menghemat APBN 2024.
Selain melakukan pengetatan penyaluran BBM bersubsidi, Luhut melanjutkan, pemerintah berencana untuk menggunakan alternatif pengganti bensin dengan menggunakan bioetanol.
Kurangi Kadar Polusi Udara
Menurutnya, penggunaan bioetanol akan mampu mengurangi kadar polusi udara. Adapun tingkat sulfur yang dimiliki bahan bakar alternatif ini juga tergolong rendah.
“Itu akan mengurangi orang yang sakit ISPA (Infeksi saluran pernapasan akut),” ujar dia.
Apabila Indonesia berhasil mengurangi kadar sulfur dengan menggunakan bioetanol, Luhut meyakini jumlah penderita ISPA bisa ditekan dan pembayaran BPJS untuk penyakit tersebut bisa menghemat APBN.
“Itu juga bisa menghemat sampai Rp38 triliun,” ucap dia.