MASALAH penundaan transfer dana bagi hasil (DBH) yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Lampung masih menjadi diskusi hangat di masyarakat. Masalah ini terus bergulir mengingat nilai utang DBH tahun 2023 sangat fantastis, yaitu Rp1,08 triliun atau setara dengan nilai APBD satu kabupaten di Lampung. Dengan kata lain, DBH yang ditunda pencairannya oleh Pemprov cukup untuk membiayai APBD satu kabupaten di Lampung.
Penjabat Gubernur Lampung menyatakan bahwa penundaan DBH merupakan suatu bentuk kezaliman karena menggunakan dana yang bukan menjadi hak provinsi. Pj Gubernur juga berkomitmen untuk menyelesaikan masalah DBH di akhir masa jabatannya yang singkat (8 bulan). Pertanyaannya adalah menyelesaikan masalah DBH yang mana? Mungkinkah masalah tersebut terselesaikan?
Penyelesaian masalah DBH itu setidaknya ada dua hal yang harus kita pahami, yaitu: pertama, utang DBH. Utang DBH merupakan realisasi transfer DBH tahun sebelumnya ke kabupaten/kota yang ditunda pencairannya dan terakumulasi menjadi utang DBH. Laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) Pemprov Lampung tahun 2023 audited BPK menunjukkan bahwa rata-rata utang DBH Pemprov Lampung periode 2014—2023 sebesar Rp604 miliar per tahun, dan total akumulasi utang DBH sampai dengan tahun 2023 sebesar Rp1,08 triliun.
Kedua, alokasi pembagian DBH tahun berjalan. Alokasi pembagian DBH tahun berjalan merupakan kewajiban Pemprov untuk mentransfer hak kabupaten/kota atas bagi hasil yang bersumber dari realisasi pendapatan daerah (provinsi) tahun 2024 yang dialokasikan berdasarkan angka persentase tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Terkait hal tersebut, maka realisasi belanja transfer DBH Pemprov Lampung setiap tahunnya merupakan pembayaran kewajiban (utang) tahun sebelumnya dan membayar bagi hasil tahun berjalan. Sebagai contoh untuk utang DBH tahun 2014 dibayarkan pada tahun anggaran 2015 dan seterusnya hingga pada tahun anggaran 2022 dibayarkan pada tahun anggaran 2023 dengan rata-rata realisasi transfer DBH tiap tahun sebesar 17,53% dari total belanja APBD. Proses ini menunjukkan bahwa pembayaran DBH berfokus untuk membayar utang tahun lalu dan sebagian kecil DBH tahun berjalan.
Upaya yang telah dilakukan sebagai wujud komitmen, awal tahun 2024 Pemprov telah mengadakan rapat dengan seluruh pemerintah kabupaten/kota yang dipimpin langsung oleh Sekretaris Daerah Provinsi dan dihadiri oleh seluruh Sekretaris Daerah, Inspektur, kepala BPKAD serta kepala Bappeda kabupaten/kota yang menyepakati skema penyaluran utang DBH dan komitmen pembayaran alokasi DBH tahun berjalan. Pada akhirnya sampai dengan Mei 2024, Pemprov telah merealisasikan pembayaran DBH sebesar Rp355 miliar yang merupakan pembayaran utang DBH 2023.
Berdasarkan Pergub No. 54/2023 tentang penjabaran APBD Provinsi Lampung tahun anggaran 2024, anggaran pendapatan pajak daerah (obyek DBH) diestimasi sebesar Rp3,34 triliun dan berdasarkan ketentuan perundang-undangan alokasi pembagian DBH tahun 2024 sebesar Rp1,65 triliun atau 19,84% dari total belanja APBD. Apabila utang DBH sebesar Rp1,08 triliun atau 12,95% dari total belanja APBD 2024 akan diselesaikan tahun ini, Pemprov harus mengalokasikan dana sebesar Rp2,73 triliun atau 32,78% dari total belanja APBD yang terdiri dari utang DBH sampai dengan tahun 2023 dan alokasi pembagian DBH tahun 2024.
Pada saat yang sama, Pemprov juga harus mengalokasikan anggaran untuk memenuhi belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana yang diamanahkan dalam UU No. 1/2022, seperti alokasi belanja pegawai sebesar 30%, alokasi belanja fungsi pendidikan minimal sebesar 20%, alokasi belanja fungsi kesehatan minimal sebesar 10%, alokasi belanja infrastruktur minimal 40% dari total belanja APBD.
Melihat kondisi tersebut, mungkinkah Pemprov dapat menyelesaikan semua kewajiban tahun sebelumnya serta dapat membayar DBH di tahun berjalan pada tahun 2024? Bila komitmen Pj. Gubernur hanya untuk menyelesaikan pencairan DBH tahun berjalan, Pj. Gubernur hanya menjalankan Perda APBD dan bukan menyelesaikan masalah DBH.
Mengapa DBH Harus Diselesaikan
Pertanyaan publik ke mana DBH yang pencairannya ditunda oleh provinsi? Hasil audit BPK RI atas LKPD Pemprov tahun 2023 menunjukkan bahwa realisasi belanja modal pembangunan jalan, irigasi, dan jaringan (JIJ) tahun 2023 mengalami kenaikan signifikan, yaitu sebesar 54,22% dibandingkan tahun 2022. Peningkatan signifikan atas belanja modal JIJ diasumsikan adanya pembangunan jalan-jalan provinsi yang tersebar di seluruh kabupaten/kota dalam kondisi baik. Faktanya, terdapat kondisi jalan yang tidak baik sebesar 21,3%, dengan kategori rusak sebesar 4,6%, dan kategori rusak berat sebesar 16,7%.
Masyarakat kabupaten/kota sudah patuh membayar pajak, tetapi pemerintah daerahnya tidak bisa menikmati untuk pembangunan daerahnya karena dana ditunda pencairannya dan “patut diduga” digunakan untuk membiayai program/kegiatan Pemprov. Wajar saja apabila masyarakat selaku pembayar pajak kendaraan bermotor mengeluhkan kondisi jalan provinsi atau jalan kabupaten/kota yang hancur dan tidak dibangun.
DBH merupakan sumber pendapatan daerah vital yang digunakan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk membiayai pembangunan daerah, terutama pembangunan infrastruktur jalan yang dituangkan dalam APBD. Penundaan dana transfer DBH akan berdampak serius bagi pemerintah kabupaten/kota dalam hal kepastian hukum, ketimpangan pembangunan, kesulitan sumber pendanaan, dan rendahnya kinerja pemerintah daerah. Penundaan transfer DBH ke kabupaten/kota merupakan bentuk kezaliman yang dilakukan oleh Pemprov di tengah kondisi keuangan kabupaten/kota di Lampung yang tergolong rendah.
Masalah Penyelesaian DBH
Menurut hemat penulis, ada tiga pokok masalah terkait penyelesaian DBH, yaitu: pertama, political will yang merupakan komitmen gubernur sebagai pemegang kewenangan pengelolaan keuangan daerah dalam pengambil keputusan utama terkait solusi penyelesaian atas masalah DBH. Political will seorang gubernur sangat dibutuhkan dalam proses pelaksanaan kebijakan pemerintahan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Tanpa adanya political will, maka penyelesaian DBH akan berjalan seperti tahun-tahun sebelumnya bahkan berpotensi besaran utang DBH akan bertambah.
Kedua, political budgeting yang mengacu pada proses perumusan dan alokasi anggaran yang dipengaruhi oleh pertimbangan dan motivasi politik, bukan semata-mata oleh faktor ekonomi atau administratif. Karena penganggaran sebagai aktivitas politik yang melibatkan pihak yang berkepentingan dalam proses penyusunan anggaran, yaitu Pemprov dan DPRD, political will saja tidak cukup tanpa adanya kesepakatan politik melalui pergeseran/perubahan anggaran transfer DBH. Peran Pj. Gubernur menjadi sangat vital dalam mewujudkan proses penganggaran daerah karena Pj. Gubernur tidak memiliki kepentingan politik di pilgub ke depan.
Ketiga, kondisi keuangan Pemprov Lampung yang merupakan kemampuan pemerintah provinsi untuk memenuhi kewajiban keuangan (kewajiban jangka pendek, kewajiban jangka panjang, kewajiban operasional, dan kewajiban untuk menyediakan layanan publik), mengantisipasi kejadian tak terduga, serta mengeksekusi hak-hak keuangan secara efektif dan efisien. Kondisi keuangan Pemprov juga menjadi faktor utama dalam menyelesaikan DBH meskipun Pemprov telah terdapat political will dan political budgeting. *