“Bagai makan buah simalakama, dimakan mati ibu, tak dimakan mati bapak.” Peribahasa ini sangat tepat menggambarkan pilihan sulit bagi orang tua dalam memberikan akses internet kepada anak.
Bagaimana tidak, di satu sisi orang tua hendak membatasi penggunaan gawai bagi anak dengan berbagai kepentingan, di sisi lain guru meminta anak mencari sumber belajar, di antaranya yang ada dalam jaringan internet dengan berbagai platform.
Maka wajar, data dari UNICEF (Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-bangsa), menunjukkan 95% anak usia 12—17 tahun di Indonesia mengakses internet minimal dua kali sehari. Persoalannya, sebagaimana data yang dirilis UNICEF, sebanyak 22% anak menemukan konten seksual yang tidak diinginkan, misalnya munculnya iklan, konten di beranda media sosial, mesin pencari, dan aplikasi perpesanan.
Berkaitan dengan risiko yang dihadapi anak saat mengakses internet, setidaknya ada 500 ribu anak di Indonesia menyatakan pernah mengalami eksploitasi seksual dan perlakuan salah saat mengakses internet dalam setahun terakhir. Sebanyak 29 anak mengaku pernah mengirim informasi pribadi ke seseorang yang belum pernah bertemu secara langsung.
Bentuk Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual terhadap anak dalam dunia online dikenal dengan istilah pelecehan dan eksploitasi seksual anak secara online (online child sexual exploitation and abuse–OCSEA). Bentuk kekerasan ini termasuk kategori kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang difasilitasi teknologi yang dilakukan karena gender dan seksual seseorang, dalam konteks ini adalah anak-anak.
Terdapat beragam tindakan kekerasan online yang mengancam anak-anak. SAFnet, misalnya, menyebut bentuk pendekatan bertujuan memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), dan ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution).
Dampak kekerasan seksual online didominasi sisi psikis ketimbang fisik. Sebut satu contoh, anak-anak yang mengalami kekerasan seksual online dalam bentuk penyebaran gambar atau video, mereka akan kehilangan rasa percaya diri, malu, dan merasa tidak nyaman sepanjang waktu.
Situasi ini akan terus terjadi sebab gambar dan video yang tersebar itu hampir mustahil dihilangkan, terlebih manakala sudah beredar pada aplikasi perpesanan, dan masuk dalam situs jual-beli pornografi ilegal. Artinya, gambar dan video akan terus menyebar.
Perasaan ini semakin dalam manakala dalam dunia nyata anak mendapatkan bully dari lingkungannya dan mendapat hukuman dari sekolahnya karena dianggap mencemarkan nama baik. Lebih parah lagi, ketika keluarga acap turut pula menyalahkan anak-anak korban kekerasan online.
Pada jangka panjang, anak mengalami trauma, termasuk memengaruhi pola pikir mengenai seks. Misalnya, di masa depannya menjadi benci terhadap tindakan seksual. Sebab dalam pemikirannya, seks sangat mengerikan, menjijikkan, dan menyakitkan.
Gagasan Pencegahan
Pencegahan terhadap kekerasan seksual online tentu saja tidak hanya dibebankan pada satu pihak, tetapi harus berbentuk kolaborasi berbagai pihak, yang memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung.
Pemerintah, sebagai pemegang kewajiban pemenuhan hak anak, termasuk pembebasan dari berbagai bentuk kekerasan seksual harus melakukan perbaikan-perbaikan perangkat hukum. Pemerintah harus memiliki kebijakan menghapus jejak digital, termasuk gambar dan video yang tersebar di internet dalam berbagai platform. Tindakan melakukan takedown gambar atau video korban kekerasan seksual online bisa meringankan dampak psikologis anak.
Dalam pendidikan, guru melakukan literasi digital. Anak-anak akan memiliki kemampuan yang cukup kuat untuk menolak berbagai bentuk rayuan orang yang tak dikenal saat mengakses internet untuk mengerjakan berbagai tugas sekolah.
Orang tua selain selalu mengingatkan anak agar bersikap hati-hati saat mengakses dunia maya, orang tua harus bisa membangun relasi berkualitas dengan anak, dengan menggunakan pendekatan sebagai teman. Dengan relasi positif ini, anak-anak akan berani bercerita kepada orang tua saat mereka mengalami kekerasan seksual online. *