Oleh: Muhamad Dwi Cahya, Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Padjadjaran
UNSUR Karbondioksida (CO2) merupakan bagian dari Gas Rumah Kaca (GRK), sehingga keberadaannya di atmosfer bumi memiliki peranan penting. Akan tetapi, pelepasan CO2 ke udara secara berlebih juga akan berdampak buruk bagi bumi, dimana bumi akan mengalami peningkatan suhu serta kemungkinan terburuk adalah terjadinya perubahan iklim dunia. Sejak terjadinya era industri pada tahun 1776 yang ditandai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt, terjadi peningkatan produksi CO2di atmosfer. Selain itu, meningkatnya kemampuan manusia dalam mengolah dan memanfaatkan sumberdaya fosil juga berperan dalam menyumbang emisi karbondioksida. Meningkatnya emisi karbondioksida berdampak terhadap meningkatnya suhu permukaan bumi, hal tersebutlah yang menjadi dasar prakiraan International Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporannya yang menyatakan bahwa rata-rata suhu permukaan bumi akan meningkat 1,1-6,4oC antara tahun 1990-2100.
Di Indonesiai, Emisi GRK mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada rentang waktu 1990-2015 yakni sebesar 196%, dan diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2030. Berdasarkan data yang dihimpun Climate-transparancy.org diketahui bahwa sektor-sektor yang menggunakan energi merupakan penyumbang terbesar emisi karbondioksida. Sebagai contoh, pada tahun 2017 sektor pembangkit listrik menyumbang karbondioksida dengan persentase sebesar 36%, diikuti sektor lain seperti sektor industri 31%, transportasi 27% dan kegiatan rumah tangga, pertanian dan jasa 6%.
Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia karena memiliki luasan hutan hujan tropis yang sangat besar. Selain berperan sebagai penyuplai oksigen yang merupakan produk dari proses fotosintesis, ternyata hutan juga memiliki peran yang cukup besar dalam menjaga kestabilan suhu dan juga mencegah terjadinya perubahan iklim dunia. Sama seperti hutan pada umumnya, ternyata kawasan hutan mangrove memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat menurunkan tingginya konsentrasi karbondioksida di atmosfer, akan tetapi banyak dari kita belum tahu akan potensi tersebut.
Hutan mangrove memiliki berbagai manfaat bagi ekosistem pesisir, baik dari segi produksi perikanan maupun kualitas perairan, ternyata hutan mengrove juga memiliki kemampuan mencegah terjadinya krisis iklim dunia dengan cara menyerap emisi karbondioksida dengan sangat baik. Sebagai contoh,penelitian yang dilakukan Hary Purnobasuki pada tahun 2012 memberikan gambaran bahwa hutan mangrove mampu menyerap dan menyimpan karbon sekitar 4-112 gigaton C/tahun. Penelitian lain juga menyatakan bahwa di Indonesia, kemampuan rata-rata hutan mangrove untuk menyerap karbondioksida dari udara adalah sebesar 52,85 ton CO2/ha/tahun yang 2x lebih tinggi bila dibandingkan estimasi global yang hanya 26,42 ton CO2/ha/tahun. Selain itu, walaupun memiliki luasan lebih kecil, ternyata kemampuan ekosistem mangrove dalam menyerap dan menyimpan karbon mampu melebihi kemampuan ekosistem hutan lain.
Kawasan hutan mengrove memiliki luasan yang tidak besar, yakni diperkirakan hanya 0,4% dari luasan hutan di dunia Indonesia memiliki luasan hutan mangrove terbesar dengan persentase 23% dari luas total hutan mangrove dunia atau sekitar 3.489.140,68 Ha. Kawasan hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan luas lahan sebesar 50% selama 2-3 dekade terakhir, dimana pulau Jawa dan Bali menyumbang penurunan terbesar yakni sekitar 88% atau sekitar 19.577 ha. Tingginya penurunan luasan mangrove yang terjadi di Indonesia merupakan akbiat dari kegiatan manusia (antropogenik) yakni alih fungsi lahan, pencemaran limbah dan sampah, illegal loggingserta eksploitasi berlebih. Menurunnya luasan mengrove di Indonesia selain berdampak buruk bagi ekosistem pesisir ternyata juga berpengaruh terhadap masa depan dunia. Berkurangnya luasan ekosistem mangrove berdampak terhadap hilangnya stok karbon dunia, dimana Indonesia mampu menyimpan stok karbon senilai 3,14 miliar metrik ton karbon atau setara dengan 2,2 miliar emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor.
Meningkatnya produksi emisi karbondioksida, menjadikan kita harus lebih bijakdalam penggunaan bahan bakar fosil,bahkan mulai beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, menjaga keberadaan dan kelestarian hutan mangrove di Indonesia terutama di Provinsi Lampung yang memiliki potensi lahan hutan mangrove seluas 93.938,84 ha juga menjadi solusi yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat Lampung dalam mengatasi tingginya konsentrasi karbondioksida. Sehingga, dengan terjaganya ekosistem mangrove di Indonesia dan khususnya di Provinsi Lampung, maka kita dapat berperan aktif dalam mencegah krisis iklim dunia karena proses penyerapan dan penyimpanan karbon di kawasan hutan mangrove dapat berlangsung lebih maksimal.***