EUFORIA Hari Guru Nasional tahun 2024 sudah berlalu. Peringatan hari guru yang diisi dengan berbagai kegiatan lomba dan acara variasinya, mulai dari upacara dengan petugas para guru, membuat tumpeng, tukar kado, buket dari siswa, hingga papan bunga ucapan HGN 2024.
Kegiatan berbeda dari sebelumnya, lebih cerdas dengan digelarnya seminar dan FGD oleh beberapa organisasi profesi dan alumni FKIP Universitas Lampung. Selain sebagai sarana membangun kesadaran siswa dan masyarakat agar menghormati guru, juga menyemangati insan pendidik untuk sabar, ikhlas, dan terus berjuang menghadapi tantangan yang tidak ringan di masa depan dalam mencerdaskan anak bangsa.
HGN di berbagai daerah menyisakan catatan menarik sekaligus prihatin. Jika diamati dengan saksama, kegiatan tukar kado, potong tumpeng, papan bunga yang berderet berasal dari MKKS, MGMP, PGRI, sekolah, yang notabene guru juga. Berbeda dengan profesi lain, seperti advokat, apoteker, dokter, polisi, wartawan, TNI, papan bunga demikian meriah dari pejabat berbagai kalangan, ditambah dengan lembaga-lembaga mitra yang memberi ucapan. Ucapan selamat HGN terbatas dan didomnasi hanya dari guru ke guru juga, tak lebih hanya sekadar seremonial menghibur diri.
Apa yang terjadi pada puncak HGN selama ini adalah gambaran bahwa profesi guru belum dianggap, marginal di mata publik dan dipandang sebelah mata. Aktor utama pendidikan adalah guru, jantung pendidikan adalah guru, belum sepenuhnya dipahami oleh pemangku kepentingan dan masyarakat. Padahal, guru ada sebelum profesi yang lainnya, hal ini menegaskan bahwa pembangunan pendidikan belum dianggap begitu penting.
Saat Tahun Baru dan Natal atau jelang Idulfitri, pemerintah demikian sigap. Berapa sembako yang disiapkan, berapa jalan yang rusak, berapa posko yang diperlukan, tenaga keamanan, tenaga medis dan seterusnya. Berbeda saat jelang tahun ajaran baru, hampir belum pernah ada konferensi pers kesiapan daerah terkait berapa gedung, meja, dan kursi yang rusak, perpustakaan, dan guru yang profesional. Belum lagi soal keamanan siswa, guru, demikian juga kesehatannya, yang ada justru keruwetan zonasi, guru yang asal rekrut, dan permasalahan lainnya.
Pemerintah dan beberapa gelintir pejabat hanya sekadar seremonial dan imbauan menghormati dan memberi ucapan selamat Hari Guru Nasional. Selebihnya dipenuhi ucapan sesama guru. Guru dipandang sebelah mata, dipahami orang tua hanya tugasnya sekadar mengajar. Tentu ini ada pergeseran paradigma.
Pemerintah yang mestinya menjadi contoh, justru menciptakan konflik minim pemahaman tugas dan peran guru. Bahkan ikut andil dalam mematikan demokrasi guru. Guru dengan jumlah yang besar dan punya pengaruh di masyarakat dimanfaatkan dan ditunggangi pejabat dengan cara berebut menjadi ketua organisasi guru, yang notabene bukan guru. Guru tidak berani menolak, meski nyata-nyata melanggar UU Guru dan Dosen (Pasal 1 Ayat 13).
Guru kita saat ini lemah, kendati usianya sudah 79 tahun. Seharusnya makin matang, dewasa, kaya pengalaman, dan berwibawa. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya kasus, pelecehan, pemukulan, keteledoran yang dialami guru, guru dipolisikan oleh orang tua bahkan siswanya sendiri. Takut mendisiplinkan anak yang berujung pembiaran, penegakan kode etik guru belum sepenuhnya dijalankan oleh organisasi profesi yang ada.
Melihat wajah guru kita di atas, tidak bisa berharap banyak untuk menyongsong Indonesia Emas dan mimpi hadirnya SDM yang berkualitas. Harapan itu masih ada, guru pada masanya mengalami masa keemasan, demikian berwibawa dan bermartabat pernah menjadi role model. Kontribusi besar dalam pergerakan kemerdekaan dan membangun kesadaran mencerdaskan bangsa. Dengan demikian, menjadikan guru berwibawa dan bermartabat sangatlah penting.
Ada dua hal kunci menjadikan guru bermartabat dan berwibawa. Pertama, faktor internal dari guru sendiri. Dalam diri guru harus sadar bahwa profesi guru bukan sekadar mengajar, melainkan juga membentuk karakter, panggilan jiwa, siap untuk diguru dan ditiru. Siap menjadi pembelajar sejati, tidak hanya terkait kompetensi profesionalnya, tetapi juga wajib memahami regulasi terkait guru dalam menjalan tugas, seperti UU Guru dan Dosen, perlindungan anak, dan sekolah ramah anak.
Berani dan komitmen menjaga harkat dan martabat guru, termasuk menolak yang tidak sesuai dengan nuraninya. Guru selama ini mudah diberi pengharapan, ditunggangi pejabat, dimanfaatkan saat pilpres, pilgub, pilkada, dimanfatkan oknum untuk tujuan pragmatis. Bagaimana akan menghadirkan generasi berani, mandiri, kompetitif, jika gurunya sendiri tidak merdeka. Di sini dibutuhkan kekompakan dari seluruh guru, organisasi guru, kode etik profesi dan demokrasi guru ditegakkan, menghormati perbedaan serta merawat idealisme.
Kedua, dibutuhkan komitmen, keteladanan, pemerintah yang adil dan mengedepankan demokrasi guru. Pemerintah berkewajiban menyejahterakan, mengayomi, melindungi, menjadikan guru merdeka dan mandiri. Penting menghidupkan kembali Dewan Pendidikan Nasonal hingga daerah, termasuk rembuk pendidikan mulai dari nasional hingga daerah.
Kesejahteraan guru yang dimaksud tidak harus dalam bentuk materi, dengan memberi ruang kemerdekaan dalam berorganisasi, dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan, kebebasan berinovasi, sesuai amanah UU, keteladanan dan komitmen adalah reward yang besar bagi guru.
Guru bermartabat tidak hanya dari sisi internal guru yang diharuskan menjadi teladan, pembelajar sejati, memiliki ketahanan mental dari berbagai tekanan. Namun, guru juga butuh dukungan eksternal dari pemerintah, stakeholder terkait, yang sistemik dan sama kuatnya. Hari ini tidak peduli dengan guru, itu artinya kita tidak peduli dengan masa depan. Semoga ke depan guru Indonesia makin bermartabat dan berwibawa. *