KEMERDEKAAN Indonesia yang ke-79 tahun ini adalah kesempatan untuk merenungkan perjalanan bangsa meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Salah satu tokoh dalam perjuangan tersebut adalah K.H. Gholib, seorang ulama terkemuka dari Kabupaten Pringsewu. Ia sering direpresentasikan sebagai pemimpin perlawanan terhadap Belanda dan mencerminkan kepahlawanan yang luar biasa.
K.H. Gholib, yang lahir pada tahun 1899 di Sidoarjo, dikenal tidak hanya sebagai pendiri pondok pesantren di Pringsewu dan pemimpin Laskar Hisbullah, tetapi juga pemimpin yang berani melawan Belanda. Pondok pesantrennya memainkan peran ganda, sebagai pusat pendidikan agama dan benteng perlawanan terhadap kuasa kolonial.
Pendidikan agama di pesantren tersebut membentuk karakter dan moral umat, serta mempersiapkan mereka berjuang melawan penjajah. Kepemimpinan K.H. Gholib dalam pesantren ini menegaskan betapa pentingnya peran ulama dalam mobilisasi massa dan strategi perlawanan.
Popularitas K.H. Gholib semakin mengemuka saat Agresi Militer Belanda II, fase krisis dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia saat Belanda melancarkan serangan besar-besaran untuk merebut kembali kekuasaan yang telah diraih oleh bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, Pringsewu menjadi salah satu medan pertempuran penting.
Pada awal Agresi Militer Belanda II, K.H. Gholib memulai dakwah Islam di Pringsewu sambil merancang strategi perlawanan. Bersama Kapten Alamsjah Ratu Perwiranegara dan Mayor Effendi, K.H. Gholib merencanakan perlawanan dan ia sekaligus ditetapkan sebagai komandan pasukan gerilya melawan Belanda.
Pertempuran yang dipimpin K.H. Gholib berlangsung dari 8 Agustus 1947 hingga 20 Oktober 1948 di Front Baturaja dan Martapura di Ogan Komering Ulu. Pasukan Sabillah dan Laskar Hisbullah bertempur hebat melawan Belanda. Banyak korban tewas di kedua belah pihak. K.H. Gholib menjadi target utama karena keberaniannya memimpin perjuangan rakyat Lampung. Namun, ia berhasil lolos dari sergapan pasukan musuh.
Ketika K.H. Gholib dan pasukannya kembali ke Pringsewu, mereka mendengar bahwa Belanda telah mendekati Tanjungkarang dan Gadingrejo. Untuk mencegah gerak pasukan Belanda memasuki Pringsewu, ia memerintahkan penghancuran Jembatan Way Bulok di Desa Sidoharjo.
Pada 15 Januari 1949, Belanda memulai serangan menuju Gedongtataan melalui jalur utara dari Desa Branti, melewati Desa Pejambon dan Desa Halangan Ratu, hingga tiba di Gedongtataan. Mereka menyerang pasukan TNI secara mendadak dan memaksanya mundur ke Gadingrejo untuk konsolidasi serangan balasan.
Pada malam hari, pasukan yang dipimpin Letnan 1 Suratno dan Laskar pimpinan K.H. Gholib berusaha merebut kembali Gedongtataan. Serangan mereka berhasil mengusir Belanda dari wilayah tersebut (DHD, 1994).
Namun, pada 16 Januari 1949, Belanda melancarkan serangan balasan mulai pukul 09:00 pagi melalui darat dan udara. Serangan darat berhasil mengusir pasukan TNI dari Gedongtataan, sementara serangan udara menembaki staf komando TNI di Gadingrejo. Akibat serangan tersebut, pasukan TNI terpaksa mundur ke Gadingrejo. Belanda kembali menduduki Gedongtataan. Setelah itu, Belanda melanjutkan serangan menuju Pringsewu untuk mengejar pasukan TNI.
Dalam keadaan genting, K.H. Gholib dan pasukannya melarikan diri ke daerah Way Sekampung dan mengungsi ke hutan-hutan. Selama masa pengungsian, Belanda menghancurkan kediaman dan pondok pesantren miliknya, serta merampas harta miliknya, termasuk mobil, pabrik, dan klinik. Saat pengungsian, K.H. Gholib berniat pulang sebentar untuk melaksanakan salat idulfitri. Namun, beberapa hari kemudian, ia ditangkap dan ditawan oleh Belanda di markas tentara Belanda di Kompleks Gereja Pasar Pringsewu.
Setelah ditahan 15 hari, K.H. Gholib dibebaskan menjelang persetujuan gencatan senjata. Pada malam Kamis, 6 November 1949, pukul 01.00 dini hari, K.H. Gholib diperkenankan meninggalkan penjara, tetapi ditembak dari belakang oleh tentara Belanda. Ia gugur sebagai syuhada dan kemudian dimakamkan tak jauh dari lokasi pesantrennya di Pringsewu Barat.
K.H. Gholib adalah contoh ulama yang memimpin perjuangan bangsa dengan spirit Islam, keberanian, dedikasi, dan pengorbanan. Masyarakat Pringsewu dan bangsa Indonesia pada umumnya sepatutnya mengapresiasi perjuangannya untuk memastikan bahwa semangat kepahlawanan tidak pernah pudar.
Kita tidak hanya mengenang jasa K.H. Gholib, tetapi juga menegaskan kembali komitmen kita terhadap nilai-nilai kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan susah payah. Melalui ziarah dan penghormatan di makam beliau, kita memastikan bahwa semangat perjuangan dan dedikasi yang ditunjukkannya akan terus hidup, menginspirasi generasi mendatang, dan selayaknya menjadi Pahlawan Nasional. *