TANGGAL 22 September KPUD akan mengumumkan secara resmi pasangan calon kepala daerah yang ikut serta dalam pilkada yang akan digelar bulan November yang akan datang. Sejak digelar pilkada tahun 2005, baru pilkada sekarang ini yang berbeda. Ada calon kepala daerah yang diusung banyak partai politik sampai delapan partai politik, sementara ada pasangan calon yang hanya diusung dua parpol.
Fenomena ini menggambarkan dinamika politik yang terjadi di pusat dalam pilpres lalu berdampak pada pembentukan koalisi partai di daerah. Ada instruksi parpol yang mengondisikan kontestasi pilkada sehingga persaingan politik menjadi terbatas dan tidak memunculkan alternatif.
Keberagaman jumlah parpol yang mengusung calon menciptakan lanskap politik yang menarik, secara hipotesis calon dengan dukungan banyak parpol akan menjangkau lebih banyak pemilih. Namun, di sisi lain, calon yang diusung oleh sedikit partai bisa saja memiliki basis dukungan yang lebih solid.
Dalam konstelasi politik demikian, penentu kemenangan tidak sepenuhnya ditentukan oleh mesin partai politik, tetapi juga ditentukan faktor lain, seperti karakter calon antara lain daya tarik calon, popularitas, pencitraan politik, dan faktor dukungan kekuatan finansial yang kuat.
Faktor terakhir, yaitu dukungan dana kampanye yang kuat, selama ini cukup signifikan dalam memenangkan persaingan politik. Pemilih yang mayoritas ada di masyarakat lapisan bawah masih bisa dibeli dan dipengaruhi oleh kekuatan politik uang yang bisa dilakukan dengan berbagai cara.
Persaingan politik pada akhirnya bukan ditentukan oleh kualitas calon atau dukungan rakyat murni, melainkan oleh pengaruh hamburan uang yang berlimpah, yang memperoleh pembenaran dari elite partai sebagai bagian dari “ongkos politik”. Perdebatan adu gagasan, visi, misi, dan program yang seharusnya menjadi substansi pilkada terkalahkan oleh pengaruh hamburan politik uang.
Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam arena politik, yaitu calon yang memiliki sumber daya finansial lebih besar sering mendominasi perhatian publik, meskipun kualitas dan kapabilitas mereka tidak selalu sebanding. Akibatnya, masyarakat terjebak dalam siklus pilihan yang terbatas, yaitu suara rakyat seolah-olah diabaikan demi kepentingan kekuasaan dan keuntungan elite.
Dalam praktik persaingan politik ini, demokrasi menjadi terdistorsi. Proses pemilihan kepala daerah mengalami kapitalisasi sehingga kandidat yang tidak memiliki akses sumber daya keuangan kesulitan untuk bersaing secara wajar dan adil.
Ekonomi Politik Pilkada
Tentu ada sebab mengapa pilkada, yang seharusnya mencerminkan kehidupan politik yang beradab dan menjunjung tinggi etika serta hak warga yang otonom, justru bisa dimobilisasi oleh kekuatan politik uang. Dari aspek ekonomi politik, fenomena tersebut menunjukkan bagaimana kepentingan ekonomi dapat mengintervensi proses demokrasi.
Para calon kepala daerah kalau dilihat dari kekuatan dana yang dimiliki, umumnya didukung oleh pengusaha yang memberi kucuran dana yang berlimpah. Para pemilik modal dan oligarki yang mengucurkan dana hampir dipastikan memiliki kepentingan untuk merauk keuntungan di balik investasi politik tersebut. Para pemilik modal akan menuntut mendapatkan akses yang lebih baik terhadap kebijakan publik, proyek infrastruktur, atau perizinan bisnis yang menguntungkan bisnisnya setelah calon yang didukung terpilih.
Dampak dari fenomena tersebut akan muncul potensi terjadinya konflik kepentingan, yaitu kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah lebih cenderung menguntungkan segelintir pihak ketimbang masyarakat luas. Selain itu, hubungan simbiosis ini dapat memunculkan praktik korupsi yang sistemik, yakni keputusan yang seharusnya dibuat untuk kepentingan publik justru didasarkan pada kepentingan bisnis tertentu.
Realitas calon kepala daerah yang di belakangnya didukung oleh kepentingan pemilik modal dalam empat kali pilkada yang sudah berlangsung di Lampung atau daerah lain sepertinya akan terus berlanjut di pilkada serentak bulan November yang akan datang.
Perbincangan publik yang mengaitkan adanya kepentingan pengusaha besar yang memberikan dukungan pada calon tertentu karena memiliki asumsi ekonomi politik yang sangat kuat, yaitu bahwa dukungan dana yang dikucurkannya akan berbuah keuntungan yang signifikan bagi para pengusaha, baik dalam bentuk kebijakan yang menguntungkan, akses proyek pemerintah, maupun kemudahan dalam regulasi.
Asumsi ini menciptakan anggapan bahwa calon yang didukung tidak hanya menjanjikan perubahan, tetapi juga berpotensi mengakomodasi kepentingan bisnis tertentu sehingga mendorong pengusaha untuk berinvestasi dalam kampanye tersebut. Dengan cara ini, mereka berharap dapat memastikan bahwa kebijakan yang diambil akan sejalan dengan tujuan dan keuntungan mereka.
KPU, Bawaslu, kelompok masyarakat sipil, para aktivis kampus, dan pers tidak bisa mencegah dominasi pengaruh kekuatan pemilik modal karena regulasi yang mengatur pembatasan dana kampanye dan sosialisasi sangat longgar serta begitu mudah untuk diakali dengan berbagai modus yang terselubung.
Misalnya, di salah satu kota, yang jumlah pemilihnya di bawah 150 ribu orang, bahkan sudah dipasang tarif per satu orang suara sebesar Rp300 ribu. Jadi, ini menunjukkan bahwa suara pemilih dihargai secara material. Kondisi ini mencerminkan betapa lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik korupsi dalam pemilu. Akankah praktik ini terus dibiarkan dan terus-menerus melanggengkan budaya politik yang korup? Jika tidak ada tindakan tegas dari pihak berwenang dan masyarakat, integritas pemilu dipertaruhkan dan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi semakin menurun.
Di beberapa daerah, masyarakat telah menggalang aksi untuk memilih kotak kosong. Ini menunjukkan bahwa pilkada telah kehilangan legitimasi sosiologis. Rakyat sebagai pemilih merasa hanya dijadikan objek untuk mengumpulkan suara, tanpa harapan untuk perbaikan yang dapat menjamin masa depan daerah mereka.
Aksi ini mencerminkan rasa frustrasi dan ketidakpuasan masyarakat terhadap calon yang dianggap tidak mewakili aspirasi mereka atau terjerat dalam praktik politik yang korup. Jika tren ini terus berlanjut, kemungkinan dampaknya akan terjadi penurunan partisipasi pemilih secara signifikan, yang akan semakin memperburuk kondisi demokrasi.
Oleh karena itu, tanpa adanya perubahan yang nyata dan komitmen untuk memperbaiki sistem, keberlangsungan pilkada sebagai sarana untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan meningkatkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera akan jauh dari harapan yang nyata. *
 
			 
					





 

