SEJAK Januari hingga September 2024, terdapat dua permohonan informasi dari masyarakat, baik individu maupun badan hukum, yang ditujukan kepada badan publik pemerintah daerah tempat saya bekerja. Pemohon meminta dokumen informasi publik yang berkaitan dengan anggaran pemerintah daerah, termasuk dokumen pelaksanaan anggaran serta dokumen pengadaan barang dan jasa. Kedua permohonan tersebut menggunakan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sebagai dasar hukum.
Yang menarik adalah tujuan permohonan informasi yang dicantumkan pemohon dalam surat permohonannya hampir sama. Mereka bermaksud menggunakan informasi publik ini sebagai bahan pelaporan dugaan tindak pidana korupsi kepada penegak hukum. Salah satu pemohon secara tegas menyebutkan bahwa dokumen yang diminta akan dijadikan alat bukti dugaan korupsi yang akan disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemohon lainnya berencana menggunakan dokumen tersebut untuk melaporkan dugaan korupsi ke KPK, kejaksaan, kepolisian, serta meminta audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Namun, permohonan informasi ini tidak dikabulkan oleh badan publik. Salah satu pemohon mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi ke Komisi Informasi Provinsi Lampung, yang kemudian menolak permohonannya setelah melalui beberapa kali proses persidangan.
Kasus ini menimbulkan dua pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan: Pertama, apakah tujuan permohonan informasi oleh individu atau lembaga dapat dijadikan dasar penolakan permintaan informasi publik oleh badan publik? Kedua, bagaimana pengaturan yang ideal untuk mencapai keseimbangan antara hak publik, hak badan publik, dan kepentingan publik secara umum?
Dalam UU KIP, khususnya dalam Pasal 17, terdapat pengaturan mengenai jenis informasi yang dikecualikan. Informasi yang dikecualikan ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan keamanan negara, hak privasi individu, hingga informasi yang berpotensi menghambat proses penegakan hukum.
Sepengamatan saya, selain alasan substansial sebagaimana Pasal 17, tidak ada ketentuan eksplisit yang menyatakan bahwa tujuan permohonan informasi dapat dijadikan dasar penolakan permohonan informasi publik. Misalnya, Pasal 22 ayat 7 huruf c menyebutkan bahwa dalam waktu paling lambat 10 hari setelah menerima permintaan, badan publik wajib memberikan tanggapan tertulis, termasuk jika menolak permintaan informasi, dengan alasan yang diatur dalam Pasal 17 tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, beberapa kolega saya berpendapat bahwa tujuan permohonan informasi tidak relevan dijadikan dasar pertimbangan dalam menolak atau mengabulkan permohonan informasi yang diminta oleh publik. Mereka beranggapan bahwa selama informasi yang diminta bukanlah bagian dari informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17, maka badan publik tidak memiliki dasar untuk menolak permintaan tersebut, meskipun pemohon bermaksud menggunakan informasi tersebut untuk melaporkan dugaan tindak pidana. Dengan kata lain, meski terindikasi ada iktikad tidak baik dari tujuan permohonan informasi, badan publik tetap harus mengabulkan permintaan tersebut sebagai hak publik yang absolut.
Namun, saya berpandangan berbeda. Tujuan permohonan informasi seharusnya menjadi salah satu pertimbangan dalam memutuskan apakah informasi publik diberikan atau tidak. Derajat kepentingan publik dalam setiap permohonan informasi harus dipandu dengan kriteria yang jelas sehingga tidak bertabrakan dengan kepentingan badan publik dalam menjalankan asas umum pemerintahan serta tidak mengganggu kepentingan publik lainnya. Kriteria tersebut, misalnya soal relevansi, kemanfaatan bagi pemohon, serta dampak berupa potensi kerugian apabila informasi tersebut tidak diberikan kepada pemohon.
Dalam beberapa kasus, menarik dicermati adanya pemohon informasi yang menggunakan UU KIP sebagai tameng untuk menakut-nakuti badan publik pemerintah bahkan hingga level pemerintah desa. Mereka meminta informasi tertentu di luar informasi yang wajib diumumkan secara berkala tetapi dengan tujuan permintaan yang tidak begitu jelas ukurannya, seperti untuk bahan kontrol sosial dan pelaporan dugaan korupsi.
Mencari Keseimbangan antara Hak Publik, Hak Badan Publik, dan Kepentingan Publik
UU KIP pada dasarnya bertujuan mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor publik, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses informasi yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran, kebijakan, dan keputusan pemerintah. Namun, di sisi lain, badan publik juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi informasi tertentu yang bersifat strategis dan sensitif demi kepentingan umum.
Permohonan informasi yang tujuannya adalah melengkapi laporan dugaan tindak pidana korupsi kerap menempatkan badan publik pada dilema. Di satu sisi, ada hak publik terhadap informasi yang harus dipenuhi. Tapi di sisi lain, jika tujuan informasinya jelas-jelas akan berpotensi merugikan atau merepotkan badan publik, pilihan untuk tidak mengabulkannya memiliki alasan yang masuk akal. Jika tidak ada mekanisme yang jelas dalam mempertimbangkan tujuan permohonan informasi, ini bisa menimbulkan risiko penyalahgunaan UU KIP oleh individu atau lembaga yang tidak bertanggung jawab.
Dalam konteks ini, penting untuk meninjau ulang pengaturan UU KIP, khususnya dalam hal integrasi pertimbangan tujuan permohonan informasi dalam proses pengambilan keputusan. Perlu ada keseimbangan yang tepat antara hak publik untuk mengetahui informasi, hak badan publik untuk menjaga kerahasiaan informasi yang dikecualikan, serta kepentingan umum yang lebih luas. Peninjauan alasan yang layak dalam setiap permohonan informasi dapat menjadi salah satu cara untuk memastikan bahwa permohonan diajukan dengan iktikad baik dan untuk kepentingan umum, bukan untuk merusak citra atau menekan badan publik.
Transparansi melalui UU KIP adalah bagian penting dari demokrasi yang sehat. Namun, dalam praktiknya, tidak semua permohonan informasi diajukan dengan niat yang sama. Meskipun UU KIP tidak secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan permohonan informasi dapat menjadi dasar penolakan permintaan informasi, saya berpendapat bahwa tujuan tersebut harus tetap dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan oleh badan publik. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan UU KIP dan menjaga keseimbangan antara hak publik, hak badan publik, dan kepentingan umum. *